Mohon tunggu...
Salma
Salma Mohon Tunggu... Freelancer - IR Scholar

you're just a microscopic dot in a bunch of universes.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pertimbangan Eksistensi Cyber Force dalam Cyber Diplomacy

2 Desember 2021   18:47 Diperbarui: 2 Desember 2021   18:58 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures


Keamanan merupakan aspek vital dalam keberlangsungan suatu negara. Tidak heran bila suatu negara berupaya keras mendorong kekuatan pertahanan negaranya melalui peningkatan kekuatan militer dan pembelian alat tempur dan senjata untuk dapat merasa aman. Hal ini adalah sifat alamiah negara untuk dapat melindungi rakyat dan teritorial negara dari ancaman yang selalu ada. Namun konsep keamanan yang hanya mencakup keamanan militer saja merupakan sebuah penelataran dan ignoransi terhadap perkembangan dunia yang secara masif telah bermigrasi ke arah yang lebih digital. Hal ini didorong oleh perkembangan teknologi yang begitu pesat, sehingga memaksa sebagian besar aktivitas menjadi dalam bentuk digital. Baik itu aktivitas perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan bahkan pemerintahan. Belum lagi membicarakan mengenai penyebaran informasi dan berita yang bisa menjadi isu tersendiri untuk dibincangkan.  Pandangan keamanan nasional saat ini berkembang fokusnya ke segi yang lebih komprehensif, dimana memastikan keamanan perorangan warga negara ikut masuk ke dalam fokus keamanan nasional negara. Salah satu prioritas keamanan negara adalah menyediakan rasa aman untuk rakyatnya, termasuk rasa aman dari ancaman kejahatan siber (cyber-crime).


Cyber Space

Maka dari itu, karena digitalisasi ini secara tidak langsung memaksa bentuk aktivitas kita bertransformasi ke dalam dunia maya, menjadikan kita butuh sistem yang dapat melindungi bentuk baru dari aktivitas pada saat ini. Gambaran tersebut dapat disebut dengan istilah Dunia Maya atau Ruang Siber (Cyberspace), sebuah sudut pandang budaya, sosiologis, ekonomi, dan politik yang tergabung ke dalam eksistensi virtual (Jordan, 1999). Konsep baru mengenai keamanan ini telah hadir sejak terbentuknya Internet. Bukan hanya kenyamanan yang dihadirkan dari adanya perkembangan teknologi ini, tetapi juga ancaman serius yang justru lebih besar lagi dampaknya akibat dari penggunaan informasi serta hal tidak berwujud yang menjadi senjatanya, dan semua pengguna di ruang siber rentan menjadi target kejahatan siber. Ketergantungan terhadap internet dan teknologi menjadikan kita begitu rentan terhadap serangan berbasis siber. Dengan kata lain, perkembangan teknologi ini membutuhkan pengaturan dari pemerintah secara signifikan, untuk mengatasi ancaman yang muncul dari berkembangannya cyberspace.


Cyber Security

Dalam strategi keamanan negara, Keamanan Siber (Cybersecurity) merupakan istilah yang sudah dikenal baik oleh peneliti maupun praktisi keamanan. Keamanan siber merupakan sekumpulan konsep yang mencakup kebijakan, alat, jaminan, pelatihan, dan apapun yang dapat memberikan perlindungan dari serangan siber. Sementara itu, dalam kerangka global, terdapat lima elemen yang mendukung sebuah konsep bernama Global Cyber-Security. Lima elemen itu terdiri dari kepastian hukum seperti regulasi mengenai IT, teknis dan prosedur tindakan, eksistensi organisasi, capacity-building dan pendidikan seperti kampanye dan edukasi menyangkut dunia siber, dan terakhir adalah kooperasi internasional dalam ranah siber (Ardiyanti, 2014). Keamanan siber ini menjadi hal yang penting untuk diwujudkan, karena melihat ancaman yang berkembang dalam ruang siber juga semakin besar. Maka kerjasama skala global dalam hal keamanan siber sangat diperlukan, terlebih lagi dalam ranah siber, pihak yang aktif dalam aktivitas siber tidak terbatas pada entitas negara saja, tetapi juga non-negara, dengan intensi yang juga beragam.


Cyber Force

Dalam keamanan siber, terdapat istilah mengenai pasukan kekuatan siber (Cyberforce) yang menjadi semacam sistem tersendiri dalam pertahanan keamanan nasional suatu negara untuk mengisi kebutuhan terhadap perlindungan siber. Namun, tidak semua negara memiliki pertahanan siber yang khusus. Mengingat ketersediaan pakar teknologi di masing-masing negara memang beragam dan pengadaan divisi siber ini memang masih dipertimbangkan akibat beberapa faktor, khususnya di negara berkembang yang belum mampu mengembangkan pertahahan keamanan siber yang mapan. Namun di negara-negara berteknologi maju seperti Amerika Serikat, Britania, Norwegia, dan Belanda, upaya pertahanan keamanan untuk bagian siber berupa cyberforce telah ada dan menjadi bagian tersendiri dari militer negara tersebut.

Cyberforce adalah cabang dari ranah militer yang didedikasikan untuk perang siber, keamanan siber, dan kontra perang siber. Cyberforce bertanggungjawab dalam ranah yang mencakup operasi untuk memerangi terorisme di ruang siber, dan untuk menetapkan proyeksi kekuatan siber suatu negara. Selain itu, cyberforce juga bertujuan untuk meningkatkan keamanan yang terdiri dari tiga aksi, yaitu attack, defense, dan exploitation untuk melindungi aktivitas di dunia maya (cyberspace) (Broadhurst & Grabosky, 2005). Ranah cyberforce selama ini hanya dihubungkan dengan kekuatan militer, terutama ketika Amerika Serikat memiliki US Cyber Command di bawah Kementerian Pertahanan terkait keamanan siber skala nasional. Hal ini didorong oleh signifikansi kasus pencurian data dan informasi terkait militer AS melalui siber (Soewardi, 2013).

Cyberforce merupakan sistem pertahanan yang khusus untuk menangani dan menghadapi serangan dan segala bentuk kejahatan siber yang ditujukan kepada negara yang dampaknya dapat bersifat fatal. Eksistensi cyberforce sendiri sebenarnya sudah cukup umum dalam barisan pertahanan keamanan negara, namun biasanya hal-hal terkait keamanan siber masih berada dalam bidang yang lebih umum lagi, dan keamanan siber menjadi cabang dalam pertahanan keamanan tersebut. Contohnya AS, seperti komando kombatan terpadu lainnya, Komando Siber AS (US Cyber Command) dan Pasukan Misi Siber (Cyber Mission Force) nya menarik personel mereka hanya dari dinas militer yang ada, yang masing-masing memiliki misi dan tanggung jawab sibernya sendiri. Penugasan terkait misi siber harus mempertahankan banyak dari personel dari kedua kelompok tersebut karena mereka perlu terus melindungi jaringan siber mereka sendiri dan memberikan dukungan siber taktis kepada unit mereka di medan perang. Tetapi domain perang siber sama sekali berbeda dari domain fisik di udara, darat, laut, dan ruang angkasa yang membentuk fokus dan prioritas perang dari penugasan. Bahkan seringnya, penugasan tersebut memperlakukan dunia siber sebagai pendukung operasi militer yang lebih konvensional di arena masing-masing, daripada domain perang yang sama sekali baru dan unik (BARNO & BENSAHEL, 2021). Jadi, ruang siber masih dianggap belum secara signifikan diperlakukan sebagai sebuah arena perang baru terlepas ancaman yang ada.

Melihat angka serangan siber dalam jangka waktu yang singkat di berbagai belahan dunia hanya menunjukkan seberapa besar urgensi negara-negara untuk membentuk pertahanan dalam keamanan siber yang bukan hanya membahayakan negara, tetapi juga memakan kerugian ekonomi yang menyerang sektor bisnis besar. Data dari CSIS menunjukkan dalam waktu satu tahun, terdapat lebih dari 100 kali serangan siber yang terjadi dengan aktor yang diduga terhubung dengan pemerintahan negara, contohnya Federasi Rusia, Korea Utara, Iran, serta Cina yang melakukan kejahatan siber seperti ransomeware dan espionase yang menargetkan instansi pemerintah suatu negara, perusahaan pertahanan dan teknologi modern, atau melakukan kejahatan yang menargetkan perekonomian dengan kerugian lebih dari $1 juta (CSIS, 2021). Data tersebut menyediakan informasi mengenai serangan dengan target penting. Maka dengan menyadari tentang serangan dan kejatahan siber skala kecil, maka ancaman dari ruang siber semakin nyata.

Pentingnya dibangun sebuah cyberforce tersendiri yang independen dan mengatur keamanan siber secara penuh dan khusus merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi. Namun negara perlu mempertimbangkan banyak hal untuk pengadaan komponen dalam keamanan siber ini, seperti dana, dan yang terpenting adalah SDM atau tenaga ahli yang memiliki kemampuan menjalankan peran yang kontributif terhadap keamanan siber negara. Hal ini mungkin bukanlah masalah besar bagi negara maju seperti AS, dan mayoritas negara Eropa, tetapi bagi negara berkembang, mewujudkan kekuatan khusus demi pertahanan siber negara yang butuh biaya. Belum lagi menyadari bahwa dari segi teknologi, terdapat kesenjangan yang tidak dapat dibantah. Bahwa negara berkembang memiliki banyak aspek yang perlu dipenuhi sebelum mencapai ke pembentukan cyberforce. Belum lagi mengenai urgensi yang prioritasnya bukanlah yang paling utama dalam kepentingan negara.


Cyber Diplomacy

Sementara itu, keterkaitan antara eksistensi dan relevansi cyberforce ini dapat dibahas dalam upaya dialog antar negara terkait siber, yaitu Cyber Diplomacy. Dimana cyber diplomacy ini merupakan sebuah pergeseran bentuk upaya mencapai kepentingan negara. Diplomasi siber dijadikan sebagai alat untuk menjalin dialog internasional dalam rangka memupuk norma siber kolektif dan arah untuk mengatur ruang siber agar kemungkinan muncul konflik berbasis siber dapat ditekan. Menurut beberapa ahli, diplomasi siber merupakan kegiatan yang mengacu pada kebijakan luar negeri sebagai upaya untuk memfasilitasi komunikasi, menegosiasikan kesepakatan, menampung informasi dan intelijen dari negara lain untuk mencegah friksi di dunia maya. Kemudian, diplomasi siber dipandang sebagai usaha untuk menerapkan sumber daya dan peranan diplomatik untuk mengamankan kepentingan siber nasional. Biasanya, strategi ruang siber nasional atau keamanan siber memberikan pemikiran mengenai agenda baru yang meliputi kebebasan internasional, keamanan siber, kejahatan siber, tata kelola internet, dan trust-building (Hamonangan & Assegaff, 2020).

Diplomasi siber juga memiliki arti diplomasi dalam ruang siber, dengan kata lain, penggunaan sumber daya diplomatik dan implementasi kegunaan diplomatik untuk melindungi kepentingan negara terkait dengan ruang siber. Kepentingan-kepentingan tersebut umumnya tertera dalam strategi siber atau keamanan siber suatu negara, yang termasuk dalam agenda diplomatik. Isu menonjol dalam bahasan diplomasi siber biasanya merangkap keamanan siber, tindakan kriminal dalam siber, trust-building, kebebasan internet, dan manajemen internet. Diplomasi siber dalam praktiknya melibatkan diplomasi, resolusi konflik, perjanjian dan kebijakan yang melingkupi dunia siber.

Dengan melihat beberapa definisi terkait diplomasi siber, maka diplomasi siber merupakan alat untuk membuka dialog mengenai ruang siber agar norma internasional terkait siber dapat terbentuk, sehingga ada konsensus terkait siber. Membicarakan ruang siber merupakan hal yang tricky untuk dibahas. Namun di saat yang bersamaan penting, karena ancaman siber adalah nyata. Eksistensi cyberforce memang diperlukan, tetapi masih terdapat perdebatan dan pertimbangan mengenai hal tersebut. Indonesia sendiri perlu untuk memiliki cyberforce, khususnya untuk lapisan pertahanan TNI agar tidak rentan dari penyalahgunaan informasi militer dan gangguan lain terhadap keamanan negara. Indonesia telah mengupayakan keamanan siber melalui pembentukan UU ITE dan juga Badan Siber dan Sandi Negara. Namun, Badan ini berada di bawah Badan Inteligen Negara (BIN) (Chotimah, 2019).

 Hal ini sudah menjadi langkah positif terkait upaya perlindungan dari ancaman siber untuk Indonesia. Dalam kawasan Asia Tenggara khususnya negara anggota ASEAN, negara yang telah lebih dulu memberi fokus pada pertahanan siber adalah Singapura dengan Defence Cyber Organization yang memiliki tentara siber sendiri (cyberarmy) lebih dari 2000 personel. Lalu ada pula Australia yang membentuk unit khusus untuk perang siber. Dengan munculnya upaya ini menunjukkan bahwa respon negara terhadap ancaman siber. Naiknya jumlah keberadaan unit pertahanan siber di berbagai dunia menunjukkan bahwa negara tersebut telah menyadari kepentingan mengenai keamanan siber. Namun, karena tingkat kapabilitas negara yang berbeda-beda, maka perlu ada kerangka kerjasama dalam hal pertahanan dan keamanan siber untuk memperkuat negara. Hal inilah yang perlu dicapai dalam diplomasi siber.

Eksistensi cyberforce sendiri memiliki juga harus diatur karena cyberforce merupakan konsep baru dalam dinamika keamanan siber, maka dari itu, perlu pembicaraan lebih lanjut mengenai eksistensi dan regulasi terkait hal tersebut, meskipun sifat dari cyberforce ini berada di level nasional suatu negara saja pada saat ini. Namun tidak menutup kemungkinan adanya cyberforce yang sifatnya regional atau bahkan multiregional untuk memperkuat pertahanan siber secara global di masa yang akan datang. Sehingga memperkecil adanya ancaman siber dan mewujudkan sebuah tatanan global dalam ruang siber yang lebih aman.



Referensi :

Ardiyanti, H. (2014). CYBER-SECURITY DAN TANTANGAN PENGEMBANGANNYA DI INDONESIA. Politica, 5(1), 95-110.

BARNO, D., & BENSAHEL, N. (2021, May 4). warontherocks.com. From WHY THE UNITED STATES NEEDS AN INDEPENDENT CYBER FORCE: https://warontherocks.com/2021/05/why-the-united-states-needs-an-independent-cyber-force/

Broadhurst, R. G., & Grabosky, P. N. (2005). Cyber-crime: The Challenge in Asia. Hongkong: Hongkong University Press.

Chotimah, H. C. (2019). Tata Kelola Keamanan Siber dan Diplomasi Siber Indonesia di Bawah Kelembagaan Badan Siber dan Sandi Negara. Politica, 10(2), 113-128.

CSIS. (2021). csis.org. From Significant Cyber Incidents: https://www.csis.org/programs/strategic-technologies-program/significant-cyber-incidents

Hamonangan, I., & Assegaff, Z. (2020). CYBER DIPLOMACY: MENUJU MASYARAKAT INTERNASIONAL. Padjadjaran Journal of International Relations (PADJIR), 1(3), 311-333.

Jordan, T. (1999). Cyberpower: The culture and politics of cyberspace and the Internet. Routledge.

Soewardi, B. A. (2013). Perlunya Pembangunan Sistem Pertahanan Siber (Cyber Defense) yang tangguh bagi Indonesia. POTENSI PERTAHANAN, Maret, 31-35.



Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun