Mohon tunggu...
Yuni Bues
Yuni Bues Mohon Tunggu... -

- Suka makan & ketawa\r\n- Karyawati di satu perusahaan di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pajak Gereja Di Jerman: Penilaian Iman Dengan Materi

17 Maret 2015   14:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:32 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hmm....udara masih bagus & cukup terang, daripada langsung pulang ke rumah & harus masak, lebih baik mampir dulu ke supermarket untuk isi perut yang sudah keroncongan dari tadi, pikir saya di kereta yang mulai memasuki Berlin. (Biarin aja suami nunggu di rumah lebih lama, toh  masih ada stok camilan ini).
Saya baru kembali dari nengok kolega yang belum lama melahirkan bayi pertamanya. Sebelumnya saya pikir, di rumahnya akan disediakan banyak makanan (seperti ultahnya dulu), makanya sebelum berangkat perut dibiarkan kosong. Nggak taunya.....hanya ada sepotong kue, yang banyak hanya minum kopinya aja selama 4 jam ngobrol ngalor-ngidul. Dia yang diet (badannya yang sudah gemuk, lebih melar lagi setelah melahirkan), saya yang sengsara wwwkkkk.....
Rencana nikahnya juga jadi nggak jelas, karena katanya nunggu langsing dulu untuk enak dilihat kalau pakai baju pengantin.(Kapan ya ....wong selama saya mengenalnya, badannya selalu 'lebih' he...he...). Waktu saya tanya apakah dia nanti mau nikah di gereja, jawabnya "ich bin doch nicht blöd (emangnya gue goblok)!". Wwwkkk....

Gereja yang dianggap sebagai tempat ibadah & sekaligus rumah Tuhan, memang sudah lama ditinggalkan para pengikutnya di sini. Sepertinya sudah tidak ada yang 'menarik' lagi di dalamnya, kecuali dari segi sejarah & arsitekturnya.
Dari orang-orang terdekat (keluarga suami, teman & kolega) yang pernah saya tanya, apa alasan mereka keluar dari agama (gereja), jawabannya sama semua, selain nggak percaya agama, juga untuk menghindari bayar pajak gereja (Kirchensteuer). (Pajak gereja adalah pajak yang ditarik dari anggota komunitas agamanya, dalam hal ini katholik & protestan, untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran komunitasnya).
Siapa sih yang mau, kalau setiap bulannya gaji berkurang untuk pajak yang nggak jelas? Belum lagi pajak-pajak lainnya yang harus dibayar para pekerja.

Foto:KNA (hmmm... berkurang lagi nih jatah).

Pajak Gereja (Kirchensteuer) yang sampai saat ini masih terus diperdebatkan kelangsungannya, baik di kalangan orang politik maupun masyarakat biasa, tidak lahir begitu saja. Tetapi ada peristiwa sejarah yang melatar-belakanginya. Pajak ini merupakan kelanjutan dari "Reichsdeputationshauptschluss" (Keputusan terakhir sidang kekaisaran Jerman) di Regensburg  25 Februari 1803. Di dalamnya ditetapkan rencana ganti-rugi yang disepakati antara Perancis & Rusia (1802) sesuai perjanjian damai Luneville (1801).
Karena menurut perjanjian damai itu para bangsawan/raja-raja di Jerman harus menyerahkan semua daerah di kiri Rhein ke Perancis, yang dikompensasikan juga dengan aset-aset gerejanya. Makanya gereja ikut juga disita (Säkularation). Dengan itu gereja tidak hanya kehilangan harta-bendanya, tetapi juga basis 'jatah basahnya' yang berupa pemasukan dari jemaatnnya. Karena kerugian ini, akhirnya gereja meminta kembali haknya kepada para bangsawan tersebut. Mereka diwajibkan untuk setoran tahunan, agar gereja bisa meneruskan kembali kegiatan pastoralnya. Pelunasan hutang sejarah ini akhirnya menemukan jalan masuknya ke dalam konstitusi kekaisaran Republik Weimar & UU Rep.Jerman. Dan tahun 1953 pajak gereja ini dikelola langsung oleh kantor pajak.

'Hutang warisan' yang masih harus terus dibayar para umatnya (yang masih setia & menyatakan keimanannya di atas secarik kertas), besarnya 8%-9% dari pajak penghasilan anggotanya yang dipotong secara otomatis oleh kantor pajak. Dan setiap tahun terkumpul kira-kira 9-10 milyar €. Uang itu tidak langsung semuanya disalurkan untuk gereja (gereja katholik maupun protestan), tetapi mengendap dulu di kantor pajak. Pemerintah dapat jatah 3% dari jumlah tersebut (enak kaleee....), karena sudah ngurusin administrasinya. Baru setelah itu disalurkan ke gereja-gereja yang membutuhkan. Kata seorang aktivis gereja, Lutz Andelewski, pajak itu salah-satu tujuannya untuk bayar gaji pendeta/pastur. Alasan yang mengada-ada. Kita semua tau kok, kalau hanya untuk gaji mereka sendiri, pemerintah sudah mengambilnya dari pajak kita yang lain. (Pajak dari semua orang yang menetap & bekerja di sini, baik beragama maupun tidak).

Walaupun hubungan bisnis antara gereja & pemerintah terasa aneh, tetapi masih cukup banyak orang yang masih mau memenuhi kewajibannya, entah secara suka-rela (?) atau terpaksa (takut tekanan dari agamanya). Orang-orang (pemerintah & gereja) yang terlibat di dalam hubungan bisnis yang saling menguntungkan ini (simbiosis mutualisme), jelas aja ogah untuk menghapuskan pajak gereja, walaupun sudah banyak suara yang protes. (Nggak baik, ngilangin 'rejeki' yang masuk, begitu pikirnya wwwkkkk.....).

Saya jadi ingat 15 tahun lalu ketika kita mendaftarkan pernikahan kita di Indonesia ke Standesamt (catatan sipil) Berlin. Waktu itu suami ditanya pegawainya, apakah mau merayakannya kembali di gereja? Jawabnya cukup singkat, "saya tidak percaya agama & sudah lama keluar dari gereja". Waktu itu saya pikir, (mungkin) suami melakukannya untuk menghormati keyakinan saya, ternyata ada alasan lain di baliknya. Ada udang di balik  rempeyek wwwkkk...

Di sini sekali kita mencantumkan keyakinan kita (katholik atau kristen), entah keluarga sendiri yang melakukannya atau sebab pernikahan di gereja, maka kita dianggap bagian dari mereka & diwajibkan untuk bayar pajak gereja, jika kita sudah cukup umur untuk itu & berpenghasilan. Jika kita sudah lama ikut ke dalam sistem tersebut & kita mau keluar, kita harus datang ke Standesamt (catatan sipil)  untuk menandatangani formulir hengkangnya kita dari gereja. Pihak gereja tidak langsung otomatis mengucilkan kita, tetapi meminta kita untuk memikir ulang keputusan itu. Mereka melakukan ini, bukan karena cinta tulusnya, tapi takut kehilangan 'sumber mata airnya'. Kalau kita tetap bersikeras untuk keluar, konsekuensinya kita akan dibuang dari lingkungan mereka (gereja katholik). Dianggap kita nggak ada lagi. Mau jadi wali baptis, pernikahan atau kematian sudah nggak dilirik lagi. (Sudah untung kalau nggak ada proses, sebab dituduh menghujat agama wwwkkk....).

Tujuan agama yang awalnya untuk mendekatkan umat dengan Penciptanya, semakin lama semakin abstrak & keluar dari relnya. Di dalam sistem yang seperti ini, yang lebih ditonjolkan & dipentingkan justru sifat keduniawiannya (uang) daripada keimanan seseorang. Secara tidak langsung, mereka menerapkan sistem baku seperti dulu, siapa yang bisa (mau) bayar, dialah bagian dari kita. Mereka lupa atau menutup mata, bahwasannya keimanan seseorang tidak bisa diukur atau dibeli dengan harta duniawi, begitu juga sebaliknya. Dan orang yang keluar dari agama, belum tentu dia tidak beriman.
Itulah susahnya, jika agama sudah banyak dicampuri tangan manusia, yang mengakui dirinya lebih tahu dari Sang Pencipta.

Berbahagialah pemeluk agama di tanah air, yang belum dikenakan pajak agama. (Mudah-mudahan nggak pernah ada).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun