Menjelang Idul Adha, umat Islam di berbagai penjuru dunia ramai-ramai membahas dan melaksanakan ibadah puasa sunnah. Dua hari yang seringkali menjadi perhatian adalah tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah, yang dikenal dengan puasa Tarwiyah  dan  puasa Arafah. Namun, tidak sedikit pula yang bertanya-tanya, benarkah ada anjuran khusus mengenai puasa Tarwiyah? Dan bagaimana kedudukan puasa Arafah dalam ajaran Islam?
 Dalam kalender hijriyah, tanggal 8 Dzulhijjah disebut sebagai hari Tarwiyah. Istilah ini berkaitan erat dengan praktik jamaah haji di masa Nabi Muhammad saw., yaitu mempersiapkan bekal dan berangkat menuju Mina untuk kemudian keesokan harinya wukuf di Arafah. Sementara tanggal 9 Dzulhijjah dikenal sebagai hari Arafah, yang menjadi puncak ibadah haji.[1]Â
 Puasa pada hari Tarwiyah memang tidak memiliki dalil yang kuat dalam hadis-hadis shahih. Riwayat tentang keutamaannya banyak dikategorikan sebagai hadis dhaif (lemah). Salah satunya adalah hadis yang menyebut bahwa puasa Tarwiyah menghapus dosa setahun:
"Puasa pada hari Tarwiyah menghapus dosa satu tahun dan puasa hari Arafah menghapus dosa dua tahun."[2]
 Namun hadis ini dinilai lemah oleh para ulama hadis, sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum yang kuat. Meskipun demikian, tidak sedikit ulama yang membolehkan bahkan menganjurkan puasa Tarwiyah sebagai bagian dari amal ibadah yang baik di bulan Dzulhijjah. Dalam Islam, amalan yang tidak bertentangan dengan syariat dan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah tetap bernilai ibadah.
 Berbeda halnya dengan puasa Arafah. Banyak hadis shahih yang menegaskan keutamaannya, khususnya bagi mereka yang tidak sedang menunaikan ibadah haji. Salah satunya adalah hadis dari Abu Qatadah, bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda:
 Puasa Arafah, aku berharap kepada Allah agar dapat menghapus dosa tahun sebelumnya dan tahun setelahnya."(HR. Muslim)[3]
  Puasa ini menjadi sangat istimewa karena dilakukan pada hari paling mulia dalam bulan Dzulhijjah, yaitu ketika jutaan jamaah haji sedang wukuf di Padang Arafah. Bagi kaum muslimin yang tidak berhaji, berpuasa Arafah adalah bentuk partisipasi spiritual dan solidaritas terhadap saudara-saudara mereka di tanah suci.
  Meskipun puasa Tarwiyah tidak memiliki dasar hadis shahih, pelaksanaannya tetap dianjurkan sebagai bagian dari memperbanyak amal saleh di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Sementara puasa Arafah jelas memiliki landasan kuat dalam hadis Nabi dan sangat dianjurkan untuk dikerjakan. Oleh karena itu, bagi umat Islam yang ingin menghidupkan dua hari istimewa ini dengan puasa, niat baik dan kesungguhan dalam beribadah menjadi kunci utamanya.
Â
1. H.M. Attamimy dan H. Rajab, "Tarwiyah dalam Pandangan Ulama dan Prakteknya pada Jamaah Haji Indonesia", Jurnal Al-Muqaranah, Vol. 2, No. 1