Mohon tunggu...
Saipul Bahri
Saipul Bahri Mohon Tunggu... Dosen - Don't who is the most sharp But who is the best most seriously

Penikmat Kopi dan Pegiat Literasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

POLITIK EKOLOGI DAN TUKAR GULING KEPENTINGAN

22 September 2019   11:00 Diperbarui: 22 September 2019   18:45 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negeri yang gemah ripah loh jinawi ini dinobatkan sebagai wilayah tropis dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi dan bahkan tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Sebut saja data yang telah dipublikasikan oleh Badan Planologi Kehutanan Republik Indonesia tahun 2000 bahwa luas hutan Indonesia adalah 120,3 juta hektar atau 3,1% dari luas hutan dunia. Seiring berjalannya waktu dan tingkat akan kebutuhan lahan berbasis ekonomis pun semakin meningkat sepertinya tak ada jalan lain selain menempuh eksploitasi hutan sebagai solusinya. Alhasil, solusi yang egois ini pun diperkuat dengan tingkat kesadaran ekologis yang rendah. Bukan hanya masyarakat tetapi juga para politisi lokal di daerah.

 Seyogianya kesadaran terhadap keberlangsungan alam tidak sebatas pada retorika belaka melainkan nyata dalam aksi, karena hutan itu bukan "warisan" tapi sebuah "titipan" dari Tuhan untuk keberlangsungan makhluknya. Kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan menjelaskan bahwa pondasi dalam kebijakan perlindungan dan pelestarian terhadap titipan Tuhan ini dijalankan demi kepentingan politik pragmatis semata. Ketidakpastian akan legitimasi batas dalam pembagian antara hutan adat, hutan produksi, dan hutan lindung menjadi pintu masuk bagi korporasi, mafia Illegal logging, alih fungsi hutan, sehingga perambahan hutan pun takkan terhindar.

Misalnya saja, pada 2009 sampai 2015 luas hutan di Kabupaten Rokan Hilir salah satu daerah terluas di Provinsi Riau mengalami pengurangan luas cakupan hutan yang sangat drastis. Hutan produksi tahun 2009 yang hanya seluas 202.628 Ha sampai tahun 2015 meningkat secara signifikan mencapai seluas 408.304 Ha, bertambahnya cakupan luas hutan produksi yang mencapai lebih dari 100% ini dengan silisih bertambahnya sebanyak 205.676 Ha.

Lebih lanjut, Hutan adat yang menjadi kewenangan masyarakat adat mencapai 71.761 Ha berkurang menjadi 16.825 Ha dan berkurangnya mencapai 83% dengan selisih pengurangan seluas 55.636 Ha,  pun dengan hutan lindung pada tahun yang sama seluas 7.153 Ha dan pada tahun 2013 berkurang menjadi 6.051 Ha. (Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Rokan Hilir, 2016). Alih fungsi hutan yang terjadi tentu bukan karena sebab, faktor lemahnya kepemimpinan dan cost politik di daerah pun tidak bisa dinafikkan dengan masalah klasik ini.

Undang-undang No.23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 4 Ayat 1 memberikan kewenangan kepada daerah terhadap Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Hutan (IUPKK).  Lemahnya sistem politik ekologi di daerah dibuktikan dengan menurunnya luas hutan Indonesia. Alhasil, dengan kewenangan pemimpin daerah muncul pragmatisme politik yang mengarah pada tukar guling kepentingan dari pemodal politik menjadi alih fungsi lahan dan eksploitasi hutan yang membabi buta.

Tukar Guling Kepentingan Politik

James Scott, pada sebuah penelitian politik yang berjudul Patron Client Politics and Politis and Political in Southeast Asia menjelaskan prinsip tukar guling kepentingan ibarat patron klien karena berhubungan dengan kepentingan yang sama-sama membutuhkan. Satu pihak berperan sebagai patron dan pihak lain yang lebih lemah sebagai klien. Jika dikaitkan dengan kebijakan hutan di daerah, pertukaran dalam bentuk izin usaha, pengelolaan hutan lindung menjadi hutan produksi suatu realita pada setiap momentum pemilukada.

Dalam arena politik, pemilu menjadi alat untuk memilih pemimpin melalui proses demokrasi seharusnya tidak membuka pintu pilu, tetapi menciptakan kesempatan bukan hanya menikmati kesejahteraan, keadilan dan pembangunan tetapi juga keberlangsungan kehidupan.

Semangat luhur untuk keberlangsungan itu terjadi bila kesadaran ekologis pemimpin daerah menjadi pilihan bersama cerdas pada setiap keputusan politik dan bisa membebaskan diri dari kepentingan korporasi. Batas harusnya ditentukan, menjadikan kesadaran ekologis dalam keberlangsungan kehidupan sebagai narasi politik mutlak diperlukan, kemudian diaktualisasikan dalam sebuah kebijakan. Waktu berjalan, mahalnya cost yang harus dikeluarkan membuat setiap kandidat pada pemilukada tidak bisa dilepas dari bayang-bayang korporasi hingga tersendera pada deal-deal politik. Terlibatnya para politisi lokal membuka kran terbukanya sistem pertukaran relasi politik patronase.

Dalam konteks politik ekologis, patron yang berkuasa mempengaruhi kebijakan-kebijakan terhadap izin pengelolaan hutan serta intervensi penegakan hukum. Tiga hal yang mendasar menjadi tolak ukur mengapa kejadian bencana asap saat ini selalu terulang setiap tahun yang merujuk pada tukar guling kepentingan politik.

Pertama, Penegakan hukum yang lemah. Pada kondisi ini, korporasi dan illegal logging kasat mata kita lihat dan naluri pun merasakan mandulnya penegakan hukum terhadap para mereka yang begitu sangat antusias mengeksploitasi hutan. Tragisnya, meskipun dilakukan penegakan hukum itu hanyalah berlaku kepada orang-orang yang bekerja dilapangan yang upahnya hanya untuk pemenuhan keperluan sehari-hari. Mereka seringkali dijadikan "kambing hitam" oleh para korporasi dan oknum penegakan hukum. Kesadaran ekologis harus menjadi gerakan hati dan komunal, sekaligus gerakan pengabdian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun