Peringatan Hari Raya Idul Adha dari tahun ke tahun, menurut saya, terkesan monoton. Salat Idul Adha, membeli hewan korban, menyembelihnya, membagikan dagingnya, dan ... selesai. Aktivitas yang sebenarnya ritual menjadi annual (tahunan) belaka. Akibatnya, jangankan merefleksi dalam keseharian, membekas di hati pun sulit. Padahal, bila esensi Idul Qurban membumi, niscaya hikmah akan melimpah ruah.
Sebenarnya, salah satu esensi Idul Qurban adalah sebagai tolok ukur totalitas pengorbanan hamba kepada Allah swt. Dalam konteks tolok ukur ini, pengorbanan kita bila dibandingkan dengan milik Nabi Ibrahim ibarat bumi dan langit. Betapa tidak? Nabi yang bergelar khalilullaah (kekasih Allah) itu amat total korbannya. Apa pun komando dari Allah swt. pasti beliau spontani dengan sami'naa wa atha'naa (kami dengar dan kami taat). Contoh ekstrem adalah kisah penyembelihan Ismail seperti dikisahkan Al Quran surat Ash Shaffaat ayat 100--113.
Ketika itu, Ibrahim diperintah Allah menyembelih Ismail lewat wahyu mimpi. Ibrahim pun sendika dhawuh. Sebab, dia menyadari status dirinya hanyalah hamba yang wajib patuh perintah Majikan satu-satunya, yaitu Allah swt. Dia yakin sekali di balik perintah kontroversial itu, Sang Majikan memiliki skenario yang pasti mahabaik.
Ternyata, Allah swt. memang sedang menguji kualitas cinta Ibrahim kepada-Nya. Lebih cinta kepada anaknya atau Dia? Ternyata, Ibrahim memang mencintai Ismail, tapi dia lebih dan bahkan paling cinta kepada Pencipta Ismail. Buktinya, Ibrahim berani melaksanakan perintah itu hingga detik-detik akhir pedang tajamnya siap memenggal leher Ismail. Melihat bukti totalitas korban Ibrahim itu, Allah swt. menghadiahi domba besar sebagai ganti Ismail. Walhasil, Ismail tidak jadi disembelih, tapi domba besar yang dijadikan korban.
Berkaca pada contoh pengorbanan Ibrahim itu, kita terheran-heran atas totalitas pengorbanannya kepada Allah. Bapak Para Nabi itu telah berhasil mengorbankan egonya ketika harus menjalankan perintah menyembelih anak semata wayangnya. Dia sukses mengorbankan rasionya saat menerima perintah yang irasional. Dia sama sekali tidak menghitung untung rugi. Yang terpenting baginya hanyalah perintah Allah swt. harus dia laksanakan. Titik!
Bagaimana korban kita? Jujur saja bahwa kita pasti amat malu menjawabnya. Sebab, betapa kerdil totalitas pengorbanan kita selama ini kepada Allah swt. Kita masih menempatkan rasio di atas perintah dan firman-Nya. Kita mau menuruti perintah-Nya jika jelas untungnya. Contoh, kita mau salat setelah tahu manfaatnya, antara lain, untuk mencegah perbuatan keji dan munkar, melatih disiplin waktu, menyehatkan jasmani dan rohani, dan sebagainya. Kita pun sudi berlapar-lapar dan berhaus-haus dalam puasa Ramadan sesudah tahu manfaatnya yang begitu besar bagi kesehatan. Bersedia berzakat karena telah merasakan imbalannya berupa harta yang kita miliki makin melimpah.
Kita juga mau menjauhi larangan-Nya setelah rasio membenarkannya. Misalnya, benci seks bebas karena takut terjangkit penyakit sipilis, HIV, atau AIDS. Tidak sudi berjudi ketika terbukti judi makin memelaratkan diri. Tak sudi lagi pada minuman alkohol karena terbukti meracuni syaraf otak. Dan seterusnya. Pendek kata, kita baru mau beribadah kepada Allah swt. bila sudah jelas hikmahnya.
Kita juga masih diperbudak oleh ego, populis, individualis, dan sifat oportunis lainnya. Misalnya, mau nyaleg dalam pileg atau menjadi calon kepala daerah dalam pilkada, tapi tanpa mengukur kapabilitas, akuntabilitas, dan akseptabilitas diri sendiri. Cara apa pun ditempuh tanpa peduli halal dan haram. Berkonspirasi dengan petinggi partai demi lolos dalam pencalegan. Menebarkan fitnah terhadap caleg pesaingnya. Menjalankan politik uang demi meraup suara konstituen. Menggunakan ijazah palsu dan aktivitas terkutuk lainnya. Na'uudzubillaah!
Jika perbuatan tak terpuji itu masih meracuni bangsa dan negara ini, ada baiknya kita mengaca totalitas pengorbanan Nabi Ibrahim kepada Allah swt. Artinya, kita dituntut terus meningkatkan kualitas totalitas penghambaan diri kepada Allah. Prakteknya, hari ini kita buang sifat egois dan memberi ruang gerak pada sifat sosial. Esoknya, kita hindari sifat kapitalis-materialis diganti dengan sufistis untuk mengantisipasi ibadah yang menuntut pengorbanan materi dan finansial. Begitu seterusnya sehingga makin meningkat totalitas pengorbanan kepada Allah. Semua itu harus diniati semata-mata untuk beribadah kepada-Nya atau lillaahi ta'aalaa. Meski totalitas pengorbanan kita tidak mungkin setaraf Nabi Ibrahim, tetap yakinlah bahwa Allah swt. tidak menutup mata atas jerih payah hamba-Nya yang terus-menerus serius menotalkan pengorbanan kepada-Nya.
Berkat peningkatan totalitas pengorbanan itu, semoga Allah swt. berkenan menyambut kita dengan "sesungging senyum" dan "kerlingan mata" saat kita melangkah menuju surga-Nya. Amin.