Sebagai seorang muslim, kita tentu tidak selayaknya memiliki sifat putus asa terhadap rahmat Allah Swt. Artinya, dalam menghadapi kehidupan ini, kita tidak mungkin lepas dari berbagai masalah. Dalam setiap masalah itu, pasti ada jalan keluar yang harus kita tempuh jika kita benar-benar ingin lepas dari masalah yang sedang membelit.
Nah, dalam usaha melepaskan diri itulah, sering kali kita putus asa. Mengapa? Karena sering kali penyelesaian masalah itu demikian rumit, kompleks, berbelit-belit, dan berliku-liku. Maka, tentu saja kita dituntut sabar menempuh proses dan prosedur penyelesaiannya satu per satu dan tahap demi tahap.
Misalnya, kita ingin menjadi penulis yang profesional. Tentu, prosedur utama yang harus kita tempuh adalah memelajari ilmunya, baik dengan kuliah atau ikut kursus-kursus singkat di bidang tulis-menulis. Untuk proses ini saja, kita butuh waktu antara 3 bulan hingga 4 tahun. Cukup lama, bukan?
Tapi, itulah yang harus kita tempuh lebih dahulu agar kita memiliki pondasi ketrampilan dalam dunia tulis-menulis. Proses ini saja sudah menuntut kita sabar, tekun, dan pantang menyerah dalam menghadapi segala tugas yang diberikan selama menuntut ilmunya.
Tahap berikutnya, kita harus mau mencoba memraktekkan ilmu tulis-menulis tadi. Ini makin membutuhkan kedisiplinan diri. Tiap hari, kita dituntut untuk menuangkan ide-ide yang masih tersimpan acak-acakan dalam otak dan hati ke dalam lembaran kertas kalau itu kita tulis atau dalam layar monitor kalau kita menuangkannya dengan bantuan alat komputer.
Dalam tahap ini pun, kita juga harus mau jatuh bangun. Kadang baru mulai, pikiran sudah buntu melanjutkan kata-kata berikutnya. Akibatnya, tangan berhenti menari-nari di tuts keyboard komputer.
Otak pun rasanya stres menahan beban ketidakberdayaan diri ketika menghadapi hambatan awal dalam menulis. Tambah berat, bukan? Tapi, ini harus kita hadapi kalau memang kita mau menjadi penulis yang benar-benar profesional.
Kalau itu sudah, kita dituntut melangkah tahap lanjutannya, yaitu kita kirimkan tulisan itu ke media-media massa. Di sini, tantangan-tantangan yang menghadang juga kian berat.
Kita harus bersaing dengan penulis lain yang jumlahnya ratusan, ribuan, bahkan jutaan, yang tersebar di seluruh Nusantara maupun dunia. Tidak jarang kita akan menghadapi berbagai kendala.
Misalnya, tulisan kita ditolak sejak dari pengiriman pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Kita pun pasti stres, bahkan tidak percaya diri, manakala menghadapi masalah seperti ini.
Tapi, sekali lagi kita tidak perlu putus asa atas kegagalan-kegagalan itu. Bahkan, kita harus bangkit untuk menulis dengan lebih baik lagi. Bukankah ada pepatah, "Kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda"? Kita harus yakin itu agar rasa putus asa tidak menjangkit dalam jiwa kita.