Ada kemungkinan mereka yang dari luar kota tidak berani mengambil jalur prestasi karena bisa saja persaingannya akan lebih ketat. Makanya kadang ada sekolah yang terisi penuh dan ada yang tidak untuk jalur prestasi tersebut. Bisa jadi mereka memilih sekolah yang lebih dekat dari rumah saja (jalur zonasi).
Sedikit prihatin, mereka yang berprestasi namun berasal dari luar kabupaten harus berkecil hati untuk bisa bersekolah di tempat yang mereka inginkan (untuk sekolah negeri).
Namun ada baiknya dengan sistem zonasi, terutama tingkat SMA negeri, anak tersebut tidak perlu bersekolah jauh dari orang tua mereka. Orang tua jadi lebih mudah mengontrol tindak tanduk sang anak. Karena masa "putih abu-abu" adalah masa rentan bagi seorang anak.
Usia Masuk Sekolah
Dulu, saya bersekolah di usia 5 tahun 9 bulan. Jika dihitung-hitung, saya lulus sarjana belum genap 22 tahun. Itu normal.Â
Anak-anak yang mengikuti akselerasi, bisa lulus sarjana di bawah usia 22 tahun. Bahkan di usia yang sama ada yang sudah lulus magister.Â
Namun saat ini jika ingin masuk sekolah dasar (SD), maka usia sang anak harus 6 tahun per 1 Juli 2020, atau berusia 7-12 tahun. Jenjang SMP berusia maksimal 15 tahun, jenjang SMA/SMK maksimal 21 tahun per 1 Juli 2020.Â
Melansir detik.news (25/06/2020), PPDB Jakarta mencatat, usia tertua jenjang SD adalah 11 tahun, SMP mendekati usia 15 tahun, sedangkan SMA usia tertua mencapai 20 tahun.Â
Jika SMA berusia 20 tahun, artinya nanti ia akan lulus saat berusia 23 tahun. Jika dikaitkan dengan pekerjaan, bagaimana menurut Kompasianers?Â
Rerata para pencari kerja akan menuliskan persyaratan usia untuk lulusan SMA adalah 22 tahun. Lalu bagaimana dengan anak di atas? Ia lulus pada usia 23 tahun. Belum memiliki pengalaman.Â
Para pencari kerja meminta usia termuda sedangkan lulusan yang tersedia berusia tua.Â
Anehnya usia jadi faktor penentu kelulusan pada jalur zonasi. Harusnya jalur zonasi yang jadi pertimbangan ya daerah tempat tinggalnya, bukan usia. Beruntungnya ini belum berlaku di Bengkulu.Â