Mohon tunggu...
Saeran Samsidi
Saeran Samsidi Mohon Tunggu... -

Saeran Samsidi alias Pak Banjir wong Banyumas sing coag, cablaka tur semblothongan!

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Pak Banjir (7) Episode V, Misteri Hilangnya Raja Brana

22 Januari 2018   15:17 Diperbarui: 22 Januari 2018   15:24 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Banjir (7) Episode V, Misteri Hilangnya Raja Brana

Catatan Penulis :

Dalam rangka menyambut Hari Jadi Banyumas ke-447,  22 Februari 2018, saya unggah beberapa tulisan yang ada kaitannya dengan Banyumas, khususnya seni dan budayanya. Berikut adalah cerita jenaka Banyumas,  Pak Banjir.   Selamat membaca!            

Tiga hari kemudian, Pak Banjir dengan dua asistennya, Bagol dan Cunong telah tiba di Negeri Tanah Sebrang negeri di mana Dhimas Adipati Turangga adiknya Rama Dhemang menjadi adipati memerintah wilayah itu. Kedatangantiga utusan dari Kadhemangan disambut langsung oleh Adipati Turangga. Sambutan dan pelayanan tamu  sungguh luar biasa. Maklum reputasi Pak Banjir sebagai penasihat Rama Dhemang sudah kondhang kaonang- onang ke mana-mana sampai ke Negeri Tanah Seberang. Pak Banjir adalah orang sakti yang akan meringkus jin pencuri mas picis raja brana tujuh istana, jelas diistimewakan.

Setelah tiga hari mereka bertiga tinggal di Negeri Tanah Sebrang, tidak ada tanda-tanda secuil pun yang mengarah siapa pencuri harta, dimana disembunyikan. Pokoknya gelap, nol tak ada sisik melik yang bisa dijadikan dasar penyelidikan. Pak Banjir mulai  mau putus asa. Kalau  dua asistennya si riang-riang saja. Mereka sireng-sireng plesiran kemana-mana saja.

 Petang itu,  Pak Banjir masih berada di kamar. Seharian Pak Banjir mengurung diri, mungkin sedang cari wangsit. Pak Banjir sudah bertekat untuk lebih baik mati saja kalau nanti gagal. Digenggamnya buntalan taplak meja yang berisi kudhi yang diambil dari  tembok kamar tempat  menginap. Maklum, senthong kraton ya hiasan dindingnya  banyak barang antik dan pusaka. Salah satunya adalah kudhiyang sudah disimpan di tas. Kudhi adalah senjata khas Kadhemangan  kampung halamannya Pak Banjir. Pak Banjir sudah memutuskan  ia tidak pulang ke rumah, lebih baik mati  di Negeri Tanah Seberang. Pak Banjir meyakini ini pasti gagal. Mission Imposible .....

Malam itu bulan renta, jadi langit buram berduka. Hanya sedikit bintang muncul di langit, suasana jadi kelam. Pak Banjir tidak menghiraukan malam, bergegas ia mengendap-endap  di lorong-lorong dalem kraton keluar meninggalkan istana. Buntalan taplak meja berisi kudhi digembolnya dibawa lari entah kemana tak tahu  arah. Pokoknya pergi ke tempat sepi jauh dari keraton. Pak Banjir sudah memvonis dirinya, nyawa ini harus melayang, jasad mati terkubur di sini di Negeri Tanah Seberang. Kudhisenjata petani Kadhemangan akan menjadi algojonya.

Beberapa lama kemudian, setelah Pak Banjir mutar-mutar mencari tempat yang ideal, Pak Banjir berhenti di suatu tempat. Dipandangnya sekeliling tempat itu. Gelap, ternyata pinggir jurang, pohon-pohonan lebat, kelihatannya angker. Suara tenggoret menyayat mengiris malam, Pak Banjir tak memperdulikan. Tempat ini dirasa cocok untuk mengesekusi nyawanya. Diletakkannya buntalan taplak meja di atas batu yang tertanam dekat pohon. Lalu, dikeluarkanlah   kudhidari dalam buntalan taplak meja. Pak Banjir mendongak menghadap bulan buram yang sedang berduka. Hmm ... akan kulakukan ritual eksekusi diri dengan senjata kudhi, Pak Banjir membatin sambil mengacungkan kudhi ke atas seperti orang sedang mengancam akan membunuh seseorang, ngamang-amangkudhi.

"Hai ... nyawa ... nyawa ! Kamu jadi akan saya bunuh saja. Kamu, nyawa yang tiada guna! Akan kugorok dengan kudhi ini agar mampus melayang meninggalkan raga. Nyawa ... nyawa terimalah  kudhi ini untuk mengakhiri hidupmu, nyawa ...!" Pak Banjir sudah bertekat untuk menghabisi nyawa. Seiring suara ancaman, hutan bergetar. Burung malam di hutan terbang ketakutan, lalu terdengar suara rintihan menggeram ketakutan.

"Ampuuunnn ... ampuuuunnn ... Pak Banjir. Ampun .. Pak Banjir... saya jangan dibunuh Pak Banjir, jangan digorok, ampuni saya Pak Banjir ..." menyeruak sesosok mahkluk kepala gundhul hanya cawatan ndeprok bersujud dihadapan Pak Banjir minta ampun. Pak Banjir terkejut dibuatnya dan ketakutan melihat mahkluk yang bersujud dihadapannya.

"Pak Banjir ... saya Nyawa ... saya ngaku saja. Memang saya, Nyawa, yang mencuri mas picis raja  brana tiga istana. Ampuuunn, Pak Banjir, saya jangan dibunuh Pak Banjir ...!" Pak Banjir bingung jadinya. Pak Banjir tidak mengerti sebenarnya apa yang telah terjadi. Ada mahkluk mengaku Nyawa yang muncul tiba-tiba mengaku mencuri harta istana. Tergagap agak takut dan bingung Pak Banjir bertanya, " Siapa ... ? Namamu Nyawa? Kamu yang mencuri mas picisraja brana di istana itu?" Nyawa mengangguk-angguk sambil membungkuk-bungkuk. "Nggih, kula ngaku saja. Sayalah yang mencuri mas picis raja brana tiga istana milik Adipati Turangga di Negeri tanah Sebrang. Mohon ampun .... Pak Banjir ... ampuuunn"

Pak Banjir mulai ngeh. Tahu duduk perkara munculnya        mahkluk aneh itu. Ternyata namanya Nyawa, mengaku telah mencuri mas picis raja brana tujuh istana. Hmmm ... Pak Banjir mulai merasakan belaian Dewi Keberuntungan yang akan menolong kesulitannya. Wah, kesempatan untuk membereskan persoalan Dewi  Keberuntungan sudah mendampingiku. Aku harus mengambil tindakan,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun