Mohon tunggu...
Saepul Alam
Saepul Alam Mohon Tunggu... Penulis

Geopolitics, Democracy, Activism, Politics, Law, and Social Culture.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dari Desa Menuju Kemandirian Bangsa

26 Juni 2025   07:46 Diperbarui: 26 Juni 2025   07:46 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Pedesaaan (Sumber Gambar: Fakultas Isipol-Universitas Medan Area)

Desa memiliki posisi strategis dalam pembangunan nasional. Sebagai entitas sosial, ekonomi, dan budaya, desa menyimpan potensi besar yang dapat menjadi fondasi kemandirian bangsa. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki 75.753 desa 2024. Jumlah ini menunjukkan betapa besar cakupan wilayah yang bisa dijadikan basis pembangunan. Di tengah ketimpangan antara pusat dan daerah, memperkuat kapasitas desa menjadi langkah krusial untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, kemandirian desa bukan hanya soal kemampuan ekonomi, melainkan juga kemandirian dalam tata kelola, sosial budaya, hingga inovasi teknologi lokal. Dengan menjadikan desa sebagai episentrum pembangunan, maka kemandirian bangsa tidak lagi menjadi konsep ideal, melainkan keniscayaan yang bisa dicapai secara konkret.

Desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan tonggak penting dalam memperkuat posisi desa dalam struktur negara. UU Desa memberikan otonomi yang lebih luas kepada desa untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sendiri berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan adat istiadat. Hal ini diharapkan dapat memperkuat tata kelola lokal yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Dalam praktiknya, sejak pemberlakuan UU Desa, setiap desa menerima Dana Desa yang terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2024, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp71 triliun untuk Dana Desa. Alokasi dana ini menjadi instrumen penting untuk menggerakkan ekonomi desa, memperkuat infrastruktur dasar, serta mendukung kegiatan produktif berbasis potensi lokal.

Namun, penggunaan Dana Desa masih menghadapi berbagai tantangan. Berdasarkan laporan BPK dan Kementerian Desa PDTT, masih ditemukan penyalahgunaan anggaran, rendahnya kapasitas aparatur desa, hingga lemahnya pengawasan masyarakat. Transparansi dan partisipasi publik menjadi kunci utama agar dana tersebut benar-benar berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Oleh karena itu, pembangunan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat desa menjadi prioritas yang tidak bisa ditunda. Pelatihan manajemen keuangan desa, pendidikan kewirausahaan, serta literasi digital harus diperluas cakupannya agar desa tidak hanya menjadi pengguna dana, tetapi juga produsen nilai tambah. Dalam jangka panjang, desa yang kuat secara kelembagaan akan menjadi pilar utama dalam memperkokoh fondasi ekonomi nasional.

Secara ekonomi, desa menyimpan potensi besar yang belum tergarap optimal. Sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan kerajinan tradisional masih menjadi sumber utama penghidupan masyarakat desa. Sayangnya, nilai tambah dari sektor-sektor ini masih rendah karena keterbatasan teknologi, akses pasar, dan minimnya dukungan riset. Sebagai contoh, nilai ekspor produk pertanian dari desa masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan kontribusi tenaga kerja yang terserap di sektor ini. Menurut data Kementerian Pertanian tahun 2025, sektor pertanian menyerap sekitar 28,54% tenaga kerja nasional, namun kontribusinya terhadap PDB hanya sekitar 12,66%. Hal ini menunjukkan adanya gap produktivitas yang besar, yang hanya bisa dijembatani dengan inovasi teknologi dan integrasi desa ke dalam rantai pasok industri nasional.

Melalui program koperasi merah putih yang menjadi simbol kebangkitan ekonomi kerakyatan yang berakar pada semangat gotong royong dan nasionalisme ekonomi. Sebagai entitas usaha kolektif, koperasi ini tidak hanya mengusung prinsip demokrasi ekonomi, tetapi juga menjadi instrumen strategis dalam mengurangi ketimpangan sosial dan mendorong distribusi kekayaan yang lebih adil. Dalam konteks Indonesia yang tengah menghadapi tantangan ketergantungan ekonomi terhadap modal asing dan dominasi oligarki, Koperasi Merah Putih hadir sebagai bentuk perlawanan ekonomi berbasis kemandirian desa. Melalui pengelolaan sumber daya lokal oleh dan untuk rakyat, koperasi ini mampu memberdayakan masyarakat lapisan bawah sekaligus memperkuat struktur ekonomi domestik. Dengan memperkuat kelembagaan dan akuntabilitas, Koperasi Merah Putih dapat menjadi pelopor transformasi ekonomi Indonesia menuju sistem yang lebih inklusif, berkeadilan, dan berdaulat.

Transformasi digital desa juga menjadi faktor penting dalam mempercepat kemandirian ekonomi lokal. Program "Desa Cerdas" yang dicanangkan oleh Kementerian Desa PDTT dan Kementerian Kominfo merupakan salah satu inisiatif yang patut diapresiasi. Melalui digitalisasi, desa dapat memanfaatkan sistem informasi desa, e-commerce lokal, hingga pelatihan daring untuk petani dan UMKM desa. Hingga tahun 2024, tercatat lebih dari 15.000 desa telah terkoneksi dengan layanan internet cepat (Kominfo, 2024). Meski demikian, tantangan masih ada dalam bentuk literasi digital yang rendah serta keterbatasan infrastruktur listrik dan perangkat keras. Perlu sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk menjadikan digitalisasi desa bukan hanya sebagai proyek, tetapi sebagai gerakan bersama dalam membangun masa depan yang mandiri dan berkelanjutan.

Lebih jauh, desa juga memiliki peran vital dalam menjaga ketahanan sosial dan budaya bangsa. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi, desa merupakan benteng terakhir dari identitas kultural Indonesia. Kearifan lokal seperti sistem gotong royong, musyawarah mufakat, serta kedaulatan pangan berbasis lahan dan iklim lokal harus tetap dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan nasional. Menurut studi LIPI (2023), lebih dari 70% praktik budaya tradisional Indonesia masih hidup dan berkembang di lingkungan perdesaan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan desa tidak hanya soal ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga revitalisasi nilai-nilai budaya yang memperkuat karakter bangsa. Upaya pelestarian ini harus disertai dengan kebijakan afirmatif dalam pendidikan lokal, media komunitas, dan insentif bagi pelaku budaya desa agar tidak tergilas oleh homogenisasi budaya global.

Kemandirian desa juga memiliki dimensi politik yang penting dalam mewujudkan demokrasi yang substantif. Pemilihan kepala desa secara langsung, musyawarah desa, serta lembaga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan instrumen demokrasi akar rumput yang sesungguhnya. Ketika tata kelola politik di desa berlangsung secara adil dan partisipatif, maka masyarakat terbiasa terlibat dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Ini merupakan pendidikan politik yang efektif dan berkelanjutan, yang dalam jangka panjang akan menghasilkan warga negara yang kritis, aktif, dan bertanggung jawab. Sebaliknya, jika demokrasi desa dikerdilkan oleh oligarki lokal atau elite desa yang korup, maka desa tidak akan pernah menjadi basis kemandirian bangsa.

Dalam kerangka pembangunan nasional, desa harus dilihat bukan sebagai obyek pembangunan, tetapi sebagai subyek yang memiliki kehendak dan kapasitas untuk menentukan masa depannya sendiri. Oleh karena itu, pembangunan desa harus berbasis pada pendekatan partisipatif dan bottom-up. Pemerintah pusat dan daerah harus mendengar dan menyesuaikan program mereka dengan kebutuhan riil masyarakat desa. Dalam banyak kasus, program top-down sering gagal karena tidak sesuai dengan konteks lokal. Pendekatan community-driven development (CDD) seperti yang diimplementasikan dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) pada era 2007--2014 telah terbukti berhasil meningkatkan partisipasi dan kepemilikan masyarakat terhadap pembangunan. Konsep serupa perlu dihidupkan kembali dalam skema pembangunan desa saat ini.

Upaya menuju kemandirian bangsa melalui pembangunan desa juga memerlukan pembaruan paradigma di kalangan akademisi dan pengambil kebijakan. Pengetahuan tentang desa tidak boleh hanya berhenti pada statistik kemiskinan atau data infrastruktur, tetapi juga pada pemahaman mendalam mengenai dinamika sosial, relasi kekuasaan lokal, serta potensi transformatif dari gerakan masyarakat sipil perdesaan. Banyak contoh desa-desa inspiratif yang berhasil mencapai kemandirian melalui inovasi dan gotong royong, seperti Desa Ponggok di Klaten yang sukses mengembangkan wisata berbasis BUMDes, atau Desa Sumberklampok di Bali Barat yang menerapkan sistem agroekologi berbasis komunitas. Cerita-cerita ini harus diangkat dan direplikasi sebagai best practice pembangunan desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun