Entah di Indonesia, namun perceraian paruh baya (gray divorce) yang terjadi di kalangan warga Amerika Serikat (AS) yang berusia di atas 50 tahun ternyata jauh lebih membahayakan kesehatan emosional maupun finansial para pelakunya ketimbang mereka yang memilih bercerai di usia lebih muda (Bloomberg, 19 Juli 2019). Tingkat perceraian paruh baya di AS meningkat dua kali lipat dibanding hal serupa di tahun 1990.
Perceraian terbukti merusak kesehatan tubuh, sebuah studi tahun 2009 menemukan bahwa hal itu bisa memicu tekanan darah dan berpotensi membuat berat badan naik tak terkendali khususnya pada pria. Sementara studi lain mendapati bahwa perceraian paruh baya juga meningkatkan level depresi para pelakunya.
Efek ekonomi akibat perceraian paruh baya pun tak kalah miris. Semakin bertambahnya generasi  baby boomer yang mengakhiri pernikahan , bahkan untuk kedua atau ketiga kalinya, telah menyebabkan kondisi finansial mereka berantakan sampai ke level yang paling parah.
"Perceraian paruh baya merupakan guncangan yang sangat besar terhadap kemapanan finansial."Papar Susan Brown, profesor sosiologi Bowling Green State University  dan wakil direktur National Center for Family & Marriage Research.
Susan dan para koleganya telah melakukan sebuah survei longitudinal jangka panjang terhadap 20,000 warga AS yang lahir sebelum tahun 1960 dan hasil analisanya memperlihatkan bahwa kemakmuran bisa berkurang 50 persen dari semula paska bercerai. Tak terlalu mengherankan karena setiap perceraian biasanya melibatkan pembagian kekayaan keluarga.
Selain itu mereka yang bercerai, khususnya perempuan, juga mengalami kemerosotan pendapatan. Para peneliti melakukan penilaian berdasarkan standar hidup, setara dengan pendapatan yang diperoleh untuk menghidupi keluarga yang tinggal serumah, yang merefleksikan fakta bahwa seorang dewasa melajang butuh pendapatan lebih kecil dibanding orangtua tunggal dengan dua anak yang masih tinggal bersama.
Standar hidup perempuan yang bercerai di usia lebih dari 50 tahun akan terpuruk sampai 45 persen, dua kali lipat lebih buruk dibanding perempuan yang melakukannya di usia lebih muda. Sementara kaum pria paruh baya harus siap merosot standar hidupnya sampai 21 persen setelah bercerai.Â
Studi terdahulu menunjukkan bahwa perceraian ternyata hanya berdampak kecil atau malah tidak berpengaruh pada pendapatan pria yang lebih muda.Â
Repotnya, faktor usia lanjut membuat lelaki maupun perempuan yang bercerai akan sangat kesulitan untuk memulihkan stabilitas finansial mereka seperti sebelum bercerai.
Hal di atas berlaku lintas status sosial, bahkan orang-orang yang dinilai sangat sukses dalam bidangnya masing-masing bisa terpuruk akibat perceraian.Â
Sebuah paper yang dipublikasikan di Journal of Financal tahun 2016 melaporkan bahwa baik perceraian maupun pernikahan akan sangat mempengaruhi performa para manajer keuangan. "Pernikahan dan perceraian adalah momen sangat personal yang mengalihkan fokus para manajer dari tugas investasi mereka." Tulis sang peneliti.