Feodalisme adalah sistem sosial-politik yang menempatkan sebagian kecil kelompok masyarakat para bangsawan, penguasa tanah, atau elite tertentu sebagai pemegang kekuasaan utama atas kehidupan banyak orang. Dalam praktiknya, feodalisme membangun piramida sosial yang kaku. penguasa berada di puncak, sedangkan rakyat jelata menempati lapisan terbawah. Ketaatan dianggap sebagai norma, sementara hubungan kekuasaan berjalan satu arah, dari atas ke bawah. Di Indonesia, sisa-sisa pola feodal masih terasa dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari birokrasi, pendidikan, hingga budaya sehari-hari. Ungkapan hormat, tunduk, atau bahkan sungkem seringkali diwarnai bukan oleh cinta dan kesadaran, tetapi oleh keharusan struktural yang diwariskan turun-temurun.
Kekuasaan Feodalisme sebagai Bentuk Dominasi
Kekuasaan feodalisme pada dasarnya adalah relasi sosial yang menempatkan sebagian orang di posisi "atas" dan sebagian besar lainnya di posisi "bawah". Hubungan ini tidak lahir dari kesepakatan setara, melainkan dari warisan status, keturunan, atau kepemilikan sumber daya. Dalam pola semacam ini, kuasa bukan sekadar alat mengatur, tetapi juga sarana melanggengkan ketimpangan.
Dalam sejarah Eropa, feodalisme muncul sebagai hubungan timbal balik antara tuan tanah dan petani. Tuan tanah memberikan perlindungan, sementara petani bekerja di ladang sebagai gantinya. Namun dalam kenyataannya, hubungan ini timpang, petani terikat utang, tak punya kebebasan, dan sulit keluar dari lingkaran ketergantungan. Â Di Nusantara, pola feodalisme berkembang lewat kerajaan-kerajaan yang menekankan kesetiaan mutlak kepada raja dan bangsawan. Bahkan setelah sistem kerajaan digantikan oleh kolonialisme atau negara modern, pola pikir feodal tetap mengakar dalam masyarakat. Hormat pada pemimpin atau guru, misalnya, terkadang tidak lagi lahir dari penghargaan tulus, melainkan dari rasa takut, sungkan, atau keterpaksaan.
Feodalisme masih bertahan hingga kini karena dua hal:
Pertama Budaya, masyarakat terbiasa menilai tinggi simbol hormat, meskipun kosong dari makna sejati.
Kedua Kekuasaan, penguasa atau elite memelihara sistem ini untuk menjaga posisinya tetap kokoh.
Dengan demikian, kekuasaan feodalisme bukan sekadar sistem kuno, melainkan pola relasi sosial yang masih membayangi kehidupan modern. Ia perlu dikritisi agar nilai hormat sejati yang lahir dari kesadaran dan cinta, tidak tergantikan oleh kepatuhan semu yang mengekang kebebasan. Feodalisme tidak hanya tampak dalam kerajaan kuno atau masa kolonial, tetapi juga menjelma dalam kehidupan modern, birokrasi yang hierarkis, pendidikan yang menuntut kepatuhan tanpa dialog, bahkan budaya hormat yang lebih menekankan formalitas daripada substansi. Jika ditelusuri lebih dalam, ada beberapa alasan mengapa feodalisme dianggap problematis.
1. Membatasi Kebebasan Individu
Dalam sistem feodal, seseorang sulit mengutarakan gagasan atau kritik. Hormat yang seharusnya lahir dari pengakuan atas nilai dan kebijaksanaan, berubah menjadi kepatuhan buta. Murid tidak bebas mengoreksi guru, bawahan tidak berani menyampaikan pendapat kepada atasan, rakyat tidak leluasa mengkritik penguasa. Kebebasan berpikir terkekang oleh rasa takut dianggap durhaka atau tidak sopan.