Pemandangan yang tidak biasa terjadi awal Oktober lalu. Sejumlah gubernur dari 17 provinsi mendatangi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyampaikan protes keras. Mereka menolak pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) yang mencapai Rp226 triliun pada tahun anggaran 2025. Kebijakan ini dinilai menekan kemampuan fiskal daerah, terutama wilayah yang sangat bergantung pada dana pusat untuk membiayai pelayanan publik dasar.
Dalam pertemuan itu, beberapa gubernur mengungkapkan bahwa pemotongan yang terjadi bukan angka kecil. Ada yang menyebut dipangkas 25 persen bahkan ada yang mencapai 30--35 persen. Untuk daerah dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbatas, kebijakan ini sama saja dengan mengerem pembangunan dan pelayanan masyarakat secara drastis. Proyek infrastruktur terhenti, gaji pegawai daerah tertunda, dan berbagai program layanan sosial terancam lumpuh.
Menteri Keuangan berdalih, pemotongan tersebut dilakukan sebagai bagian dari penyesuaian fiskal nasional. Ia menambahkan, "kebijakan akan dievaluasi jika ekonomi membaik." Kalimat ini terdengar teknokratis, tetapi di telinga para kepala daerah, pernyataan itu terasa seperti penundaan keadilan fiskal. Pertumbuhan ekonomi nasional dijadikan alasan, namun manfaatnya tidak otomatis mengalir ke wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan. Pertumbuhan di atas kertas tidak serta-merta berarti pemerataan di lapangan.
Indonesia memang sedang mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil. Data BPS kuartal II 2025 menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,1 persen secara tahunan, ditopang oleh ekspor komoditas, sektor industri besar, serta konsumsi rumah tangga kelas menengah. Angka tersebut menutupi kenyataan bahwa ketimpangan antarwilayah dan antar kelas ekonomi masih menganga
Daerah-daerah seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur mencatat kinerja ekonomi tinggi, terutama karena basis industri dan investasi yang kuat. Sebaliknya, banyak provinsi di Indonesia Timur dan daerah-daerah dengan PAD rendah tertinggal jauh. Ketika dana transfer yang menjadi "urat nadi" keuangan daerah dipangkas, kemampuan mereka untuk mempertahankan layanan publik dasar ikut melemah.
Kasus Maluku Utara menjadi contoh gamblang. Pada 2023, provinsi ini mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi secara nasional, didorong industri tambang besar. Namun Gubernur Maluku Utara saat itu mengeluh bahwa masyarakat "tidak merasakan apa-apa". Infrastruktur dasar terbatas, jalan masih rusak, layanan publik minim. Pertumbuhan hanya terjadi di kawasan industri, sedangkan desa-desa tetap berada di pinggiran pembangunan (DetikFinance, 2023). Inilah paradoks klasik: ekonomi tumbuh, tapi tidak semua ikut tumbuh.
Pemotongan TKD ini menunjukkan betapa kebijakan fiskal nasional sering mengabaikan konteks psikologis dan sosial masyarakat di daerah. Pemerintah pusat memandang persoalan ini dalam kerangka defisit anggaran dan efisiensi belanja. Namun, bagi masyarakat di lapangan, pemotongan dana bukan sekadar angka  itu berarti hilangnya layanan nyata.
Ketika jalan desa tidak diperbaiki karena anggaran habis, masyarakat tidak berpikir tentang defisit fiskal atau efisiensi. Mereka hanya merasakan bahwa negara absen. Ketika sekolah di daerah terpencil tidak mendapat dana operasional, orang tua tidak berbicara tentang pertumbuhan 5 persen. Mereka berbicara tentang anak-anak mereka yang belajar tanpa kursi, tanpa buku, tanpa guru tetap. Ada jarak besar antara bahasa pusat dan pengalaman rakyat.
Untuk memahami reaksi publik terhadap kebijakan ini, kita dapat menggunakan satu konsep penting dari psikologi ekonomi loss aversion, atau keengganan terhadap kerugian. Teori ini dikemukakan Daniel Kahneman dan Amos Tversky (1979), yang menyatakan bahwa manusia merasakan kerugian dengan bobot psikologis dua kali lebih besar daripada keuntungan. Dalam konteks kebijakan publik, ini berarti masyarakat akan lebih kuat merasakan efek negatif dari pemotongan anggaran dan kenaikan harga dibandingkan dengan manfaat abstrak dari pertumbuhan ekonomi makro.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen pada awal 2025 menjadi contoh yang sangat jelas. Pemerintah mengklaim kebijakan ini penting untuk memperkuat penerimaan negara. Namun di pasar-pasar tradisional, masyarakat langsung merasakan kenaikan harga kebutuhan pokok. Pedagang kecil mengeluh omzet turun, pembeli mengeluh daya beli melemah. Di saat yang sama, pemerintah mengumumkan pertumbuhan ekonomi stabil. Kontras antara pengalaman sehari-hari dengan narasi resmi ini menimbulkan ketidakpercayaan.