Dalam satu komplek yang terdiri dari dua bangunan yang saling menyambung, bekerja lima komunitas, dengan kasta yang kasat mata. Ritme sosial yang telah menjadi tradisi dan keyakinan harian. Semua melakoninya tanpa merasa bersalah, sedikitpun.
Kasta pertama, mengklaim diri istimewa dibanding kasta lainnya. Tiap gerak bahkan senyum pun di-setting dengan keangkuhan yang mendongak. Menghindari bertemu atau berbincang dengan kasta lain dengan argumen itu akan menurunkan prestise.
Kasta kedua, para pelayan untuk kasta pertama. Mereka urat nadi dari semua sukses dan prestasi di dua gedung itu. Kerja keras mereka sering "di-sampah-kan." Tapi para kasta kedua juga sering berlaku angkuh kepada orang yang belum mereka kenal.
Kasta ketiga, mereka yang hadir sesuai kebutuhan. Umumnya sudah berusia senja. Paham banyak soal, lalu angkuh karena merasa diperlukan. Pura-pura mapan dan konon bekerja hanya untuk mengisi waktu. Pura-pura tak sadar bahwa duit tak pilih usia pemburunya.
Kasta keempat, mereka yang bergiliran menyajikan jasa. Sesepuh yang pernah berkhidmat. Menikmati kekosongan di usia senja. Gaya memelas sekaligus mengindikasikan, mereka takkan berperasaan jika punya peluang untuk berlaku culas.
Kasta kelima, para pelengkap penderita, yang datang ke gedung paling awal, tapi pulang paling terakhir. Pura-pura menderita padahal cukup makmur untuk kelas kastanya. Biasanya, kapasitas mereka cenderung akan terus menjadi pelengkap penderita.
Kucoba mendekati satu-satu dari tiap kasta. Berkisah dan bercanda sambil mengirim pesan tentang hidup dan kehidupan yang pan tha rei, semuanya mengalir, meski tak selamanya mengarah ke satu titik dengan arus yang linear.
Syarifuddin Abdullah | 14 Februari 2019/ 09 Jumadil-akhir 1440 H