Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fitrah dan Fitri

15 Juni 2018   15:00 Diperbarui: 15 Juni 2018   18:15 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sebuah ilustrasi teologis, ada gambaran begini: ketika yang ada baru cuma zat Allah dan belum ada makhluk, Allah berfirman, "Aku butuh disembah". Maka Dia menciptakan sebuah nur, yang dalam legasi kesufian disebut "Nur Muhammad", sebagai ciptaan atau makhluk pertama. Dari nur azali itulah, Allah meciptakan makhluk lain yang juga abstrak: fitrah. 

Maka pertanyaan pertama yang diajukan oleh Allah kepada Fitrah adalah "Bukankah aku Tuhanmu?" (QS Al-A'raf, ayat 172). Dan Fitrah menjawab, "balaa (tentu) ya Allah)".

Maka idul fitri (kembali ke fitrah) adalah kembali ke dasar atau esensi penghambaan. Karena itu, secara bahasa, kata fitrah atau fitri biasa diartikan suci. Dan titik tersuci dari kesucian adalah kehambaan.

Fitrah atau fitri adalah kondisi kehambaan paling purba, yang telah ada dan sudah menghambakan diri bahkan ketika raga belum diciptakan. Kehambaan adalah pembeda utama antara Allah dan makhluknya, antara Yang disembah dan yang menyembah.

Dalam kehidupan keseharian, ketika sedang berkontemplasi dan seseorang berada pada puncak kesunyian sadar, tiap orang akan terbisikkan oleh pesan yang mengelus relung batin, yang terasa menggedor pintu jiwa dan mendesak agar seseorang selalu ingat akan fitrah. Dan ekspresi paling mewakili posisi kehambaan adalah bahwa "we are nothing (bahwa kita ini nggak ada apa-apanya".

Tiap perilaku atau ungkapan yang bermuatan hasrat untuk mengkhianati kehambaan, atau memposisikan diri “ada apa-apanya” atau bahkan “sangat ada apa-apanya” sesungguhnya adalah perilaku atau ungkapan yang berpotensi mencederai esensi kehambaan, yang pada gilirannya akan menjauhkan kita dari Sang Yang Maha Segalanya. Dan hal itu berpotensi menggagalkan proses idul fitri (kembalinya kita ke fitrah).

Syarifuddin Abdullah | 15 Juni 2018 / 01 Syawwal 1439H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun