Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Deep State", Apa Maksudnya?

3 April 2018   21:00 Diperbarui: 3 April 2018   21:10 1820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di wilayah Timur Tengah, terdapat tiga negara yang biasanya dirujuk pernah atau masih dikelola dengan sistem deep state: Mesir, Turki dan Iran. Dalam bahasa Arab disebut daulat-ul-umqi ( ).

Deep state biasanya digambarkan sebagai sistem kekuasaan yang dijalankan dan dikontrol oleh sekelompok tokoh kunci yang berasal dari tiga unsur: militer-tokoh berpengaruh-pemilik modal, plus media massa (tentu sebelum era internet dan Medsosnya). Dan secara umum dipahami, deep state cenderung berkarakter totaliter, tidak menerima adanya kelompok oposisi.

Tapi berdasarkan penelusuran, sebenarnya tidak ada defenisi yang benar-benar bisa dijadikan acuan kunci untuk menjelaskan makna deep state.

Monmouth University di Amerika pada Maret 2018 merelease sebuah survei yang menyebutkan, (75 persen) warga Amerika mempercayai adanya deep state, dalam pengertian adanya kelompok klandestin yang berkuasa dalam pemerintahan, birokrasi, organisasi intelijen dan lembaga-lembaga negara lainnya, dan diasumsikan mengontrol kebijakan negara dari balik layar.

Namun saat para responden ditanya tentang makna deep state (tanpa penjelasan maknanya), ditemukan bahwa 63 persen responden menjawab tidak familiar dengan istilah deep state. Hanya 13 persen responden yang mengaku memahami dengan baik arti deep state.

Survei ini menunjukkan bahwa pemahaman publik tentang deep state masih sangat terbatas. Tapi pengertian deep state dalam survei tersebut mirip dengan istilah Melayu: "negara bayangan", atau "negara dalam negara".

Yang menarik, sebab pada awalnya diasumsikan, deep state tak dapat bertahan atau tak memiliki ruang gerak leluasa di tengah maraknya sirkulasi informasi di era Medsos. Namun, kasus Mesir, Turki dan Iran menunjukkan bahwa deep state relatif masih powerful di tengah gencarnya Medsos.

Mengacu pada berbagai pengertian umum deep state, boleh disebutkan bahwa semua negara yang menjalankan sistem monarki cenderung dikelola sebagai deep state. Bahkan kalau mau contoh dekat: Orde Baru dapat dikategorikan deep state.

Adalah sebuah paradoks bahwa pemerintahan Donald Trump, di awal kekuasaannya, mengklaim diobok-obok atau berhadapan dengan anasir deep state. Padahal sesungguhnya, justru pemerintahan Donald Trumplah, juga pemerintahan Vladimir Putin di Rusia, yang saat ini menjalankan sistem deep state secara par exellence.

Dan tiap deep state tak gampang ditumbangkan. Sebab kontrol atau cengkeraman kekuasaannya begitu dalam dan merambah semua line strategis di negara itu. Sehingga jika pun terjadi reformasi terhadap deep state, yang berakhir dengan tambangnya pucuk penguasanya, deep state masih akan bertahan.

Ketika sedang menelusuri makna deep state ini, saya teringat sebuah diktum klasik tentang kekuasaan yang lebih sederhana tapi terbukti tetap up to date hingga saat ini: jika ingin mengetahui siapa yang berkuasa dalam suatu komunitas (termasuk di suatu negara), maka cari tahulah sekelompok orang yang menguasai modal dalam komunitas atau negara tersebut.

Syarifuddin Abdullah | 03 April 2018 / 18 Rajab 1439H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun