Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Yang Mau Beriman, Silahkan! Yang Mau Kafir, Silahkan Juga!"

20 Maret 2018   10:00 Diperbarui: 20 Maret 2018   09:59 1578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua orang bersepakat bahwa perbedaan pendapat dan pandangan dalam bidang apa saja adalah sesuatu yang lumrah, tak terelakkan: dalam masalah agama, sosial, ekonomi, termasuk soal kenegaraan dan kebangsaan. Itu bagian dari sunnatullah. Tapi prinsip ini kadang hanya manis dan lantang di mulut, namun gundah di hati dan resah di pikiran.

Jika berbeda pendapat dan kita masih merasa diri kitalah atau kelompok kitalah yang benar, sementara orang lain sesat dan ngawur, bukankah itu bagian dari pengingkaran tingkat paling awal terhadap sunnatullah.

Jika kita mulai berusaha menyeret agar orang lain seia-sekata persis seperti kita, itulah pengingkaran tingkat kedua terhadap sunnatullah. Pada level ini, benih fanatisme pemikiran akan mulai subur, meski masih bisa menerima perbedaan.

Jika kita mulai berusaha memaksakan pandangan kita, atau memaksa orang lain agar mengikuti pandangan kita, itulah pengingkaran tingkat ketiga terhadap sunnatullah. Pada level ini, benih intoleransi pemikiran dimulai.

Jika kita mulai berusaha dengan tindakan untuk memaksakan pandangan kita, atau mengintimidasi orang lain agar mengikuti pandangan kita, itulah pengingkaran tingkat keempat terhadap sunnatullah. Pada level ini, benih fanatisme dan intoleransi pemikiran akan meningkat ke level totaliarisme. Semua kelompok sosial atau pemerintahan yang mencapai level keempat ini akan menjadi diktator yang sarat dengan kecenderungan untuk menteror. Terusik bahkan oleh kritikan yang normal. Merasa jijik atau menganggap tolol semua orang yang berbeda pandangan dengan kita.

Dan sebenarnya hanya beda-beda tipis, lho, antara "memaksakan toleransi" dan "memaksakan intoleransi". Sebab memaksakan toleransi adalah juga sikap intoleran. Karena yang dituntut adalah "memahamkan toleransi" atau "memahamkan intoleransi".

Bukankah Allah swt sendiri melalui firmannya (QS Al-Kahfi, ayat 29) mempersilahkan semua orang, semua hamba tanpa kecuali untuk memilih: "Yang mau beriman, silahkan! Yang mau kafir, silahkan juga!" Melalui firman ini, Allah swt ingin menegaskan bahwa tiap pilihan ada risiko dan konsekuensinya.

Dan dalam soal keagamaan, iman versus kafir adalah puncak kontras antara langit dan bumi, hitam versus putih. Lalu kenapa kita masih sering bersitegang dalam soal-soal kehidupan lain, di bidang ekonomi dan sosial atau bahkan ideologi kebangsaan dan kenegaraan.

Jadi kalau hanya ada seorang Muslim yang memilih paham sekuler, atau agak-agak nyeleneh dikit, mestinya fenomena itu disikapi dengan sangat enteng. Sebab jangankan menjadi sekuler atau nyeleneh,  jangankan hanya menjadi Sunni atau Syiah, mau menjadi kafir saja sekalian, dipersilahkan oleh Allah swt.

Pesannya jelas: kearifan mengelola dan menyikapi perbedaan. Maka silahkan berdakwah, atau menganut mazhab fiqhi tertentu, atau meyakini paham sekte keagamaan tertentu, silahkan juga mengadvokasi jenis pemikiran atau filsafat tertentu, atau memilih Paslon tertentu dalam Pilkada atau Pilpres, tapi jangan pernah menegasikan perbedaan pendapat. Sebab sekecil apapun keinginan untuk menegasikan perbedaan pandangan akan menjadi benih pengingkaran terhadap sunnatullah. Dan sekecil apapun pengingkaran terhadap sunnatullah dapat dikategorikan sebagai bagian dari kekafiran juga. Hati-hati, Bung!

Tanpa itu, manis dan lantang di mulut tapi gundah di hati dan resah di pikiran akan tetap menggerogoti dan menguras semua energi. Dan mungkin Allah swt atau malaikat hanya akan berkomentar ringan begini: que sera serasajalah!

 Syarifuddin Abdullah | 20 Maret 2018 / 03 Rajab 1439H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun