Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi Film: Black Panther

27 Februari 2018   14:00 Diperbarui: 28 Februari 2018   12:11 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang istimewa pada film Black Panther?

Banyak... Dan hampir semua keistimewaan itu terangkum melalui kesuksesannya bertengger di klansmen tertinggi perolehan duit selama 2 pekan berturut-turut, dengan total perolehan sebesar 108 juta USD sampai 26 Februari 2018.

Tapi dari segi gagasan dan terobosan ide produksinya, poin yang mungkin paling menonojol adalah karena film Black Panther menampilkan seorang jagoan berkulit hitam, yang diperankan oleh T'Challa (Chadwick Boseman).

Bertahun-tahun lamanya, rumah-rumah produksi film di Hollywood asyik menggarap film futuristik dengan menampilkan jagoan berkulit putih. Seolah-olah orang berkulit hitam "tak mampu dan tak pantas" menjadi seorang hero. Bahkan di layar lebar sekalipun.

Artinya, di Hollywood pun, mental superioritas kulit putih ternyata masih kental. Tapi bukan hanya di Hollywood saja. Superioritas kulit putih di Amerika memiliki akar historis yang jauh menukik ke sejarah kelam Amerika, dan hingga kini, masih mengendap di banyak lini kehidupan sosialnya. Bahkan bisa ditemukan melalui idiom-idiom pergaulan keseharian. Sama sekali bukan isu baru.

Buku Colossus: How the Corporation Changed America (2001) pada sub judul "Perdagangan Budak" yang mengulas argumen orang kulit putih yang menentang pembebasan budak, tertulis kalimat ini: "Sebab budak-budak itu tidak tahu apa yang harus dikerjakan, mereka tidak tahu cara bagaimana untuk hidup, jika para majikan tiba-tiba menghentikan kegiatan perdagangan budak." Dan kalimat ini merupakan salah satu ungkapan paling mewakili dalam memposisikan inferioritas kulit berwarna, terutama keturunan kulit hitam di Amerika.

Tapi seperti biasanya, sejarah selalu punya caranya sendiri untuk membantah dan menolak tiap asumsi sosial. Jika di ranah politik kekuasaan, asumsi superioritas kulit putih itu terbantahkan oleh terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika selama dua periode (2008-2016), maka film Black Panther (2017), bolehlah disebut sebagai terobosan kedua, kali ini di dunia layar lebar.

Dan plot cerita utama Black Panther juga tak kalah menariknya: seorang Raja yang harus tampil menyelamatkan sebuah negara antah berantah bernama Wakanda dari ancaman kehancuran bahkan kepunahan.

Dan negara Wakanda, yang terancam di film Black Panther adalah semacam metamorfosis dari negara Amerika, yang perlu diselamatkan dari kerapuhan internalnya, akibat ulah para kulit tertentu. T'Challa (Chadwick Boseman) seolah ingin mengirim pesan seterang matahari: bahwa orang kulit berwarna, Afro American, bisa tampil sebagai penyelamat.

Di Amerika, sejak awal abad ke-21, sudah mulai muncul wacana, yang dari tahun ke tahun makin serius, tentang kemungkinan ketersisihan keturunan kulit putih, melawan keturunan kulit berwarna, setidaknya secara demografis.

Kesimpulan awal wacana itu: jumlah populasi gabungan Latino Amerika dan Afro-American plus keturunan non-putih lainnya, lambat atau cepat, pada akhirnya akan mengalahkan jumlah populasi keturunan kulit putih dalam tempo sekitar 20 sampai 30 tahun ke depan. Dan perkiraan itu, dari tahun ke tahun, menunjukkan trend peningkatan dan pembuktian yang semakin terang benderang. Dan terlihat jelas dalam perimbangan jumlah suara dari Pilpres ke Pilpres.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun