Mohon tunggu...
syarifuddin abdullah
syarifuddin abdullah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat Seni dan Perjalanan

Ya Allah, anugerahilah kami kesehatan dan niat ikhlas untuk membagi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kualat pada Ilmu

4 Oktober 2017   18:13 Diperbarui: 4 Oktober 2017   18:36 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini persoalan spiritual, dan karana itu, agak sulit dirasionalkan.

Dulu di kampung, sekitar 1970-an, ketika listrik masih menggunakan mesin diesel, kami sering didatangi seorang kiai di bulan Ramadhan. Beberapa kali, ketika pak kiai sedang ceramah, listrik mati. Dan saat itu juga, sang kiai akan langsung mengucapkan "assalamu alaikum",  mengentikan ceramahnya.

Dari para tetua kampung, saya mendengar penjelasan, kiai itu menganggap matinya lampu sebagai "isyarat atau perintah" untuk menghentikan ceramahnya. Dan meyakini bahwa ceramah yang sudah disampaikan sampai lampu mati, memang hanya itulah rezki jamaah pada malam itu. Terus terang, saya tidak pernah bisa merasionalkan tindakan sang kiai tersebut. Tapi sepertinya, sang kiai khawatir kualat pada ilmunya.

Bertahun-tahun kemudian, ketika akhirnya saya juga kadang diminta untuk memberikan ceramah di masjid atau di acara pengajian, ada kejadian yang terjadi berulang-ulang: sebelum naik mimbar, saya biasanya sudah menyiapkan materi ceramah, katakanlah 10 poin. Namun ketika mulai berceramah, selalu saja ada poin yang terlupakan. Dan anehnya, poin yang terlupa itu, justru poin yang saya anggap poin unggulan.

Pada awalnya, saya sering merasa galau, karena itu tadi: poin yang saya kategorikan unggulan, justru terlupa ketika sudah berada di mimbar.

Namun lama kelamaan, saya menyadari: yang membuat saya ingat atau lupa sesuatu adalah Zat Yang Maha Kuasa dalam mengendalikan pikiran saya. Setelah itu, saya akhirnya meyakini bahwa poin yang saya lupa di mimbar memang bukan rezki jamaah yang sedang hadir. Sejak itu, saya tak pernah lagi merasa galau jika lupa poin tertentu ketika sedang berceramah, meskipun itu poin paling unggulan. Sebab jika dipaksa-paksakan menyampaikan poin yang bukan rezeki jamaah saat itu, saya malah bisa kualat pada poin (ilmu) yang terlupakan itu.

Karena itu, setiap kali akan naik mimbar, saya mendahuluinya dengan doa ini: ya Allah, ingatkanlah aku apapun yang Engkau anggap layak diterima jamaah yang sedang hadir mendengarkan ceramah saya. Belakangan saya cenderung tidak menentukan poin-poin ceramah, saya hanya menentukan tema besarnya, setelah itu, biarlah ceramah itu mengalir secara alami.

Hal yang sama, ketika diundang memberikan ceramah di sebuah acara, misalnya jam 19.00. Saya akan berupaya hadir sebelum waktunya. Namun sering terjadi, setelah jam 19.00 tiba, baru satu dua jamaah yang hadir. Nah kalau panitia acara bertanya ke saya, apakah ceramahnya dimulai saja tepat pada waktunya, meskipun jamaah yang hadir baru beberapa orang, biasanya saya akan menjawab: "dimulai saja!". Dan saya akan berceramah dengan semangat yang sama. Karena meyakini bahwa mereka yang datang telat memang bukan rezkinya untuk mendengarkan bagian-bagian awal ceramah saya. Saya khawatir bila harus menunggu jamaah yang telat, saya justru kualat pada ilmu.

Cara atau gaya menyikapi situasi seperti yang digambarkan di atas, dalam ilmu kalam (teologi Islam), sering diposisikan sebagai bagian dari paham jabariyah atau determinisme (bahwa segala yang terjadi pada diri setiap makhluk merupakan ketentuan yang tak bisa diintervensi). Namun, secara pribadi, terus terang, saya merasa sangat nyaman melakoninya.

Dengan begitu, saya tidak perlu ndumel bila tiba-tiba mati lampu ketika sedang berceramah; tak usah galau bila lupa poin unggulan saat berceramah di mimbar; tidak ada gunanya marah-marah bila banyak jamaah yang telat datang ketika saya ceramah.

Sebab, saya khawatir kualat pada ilmu yang terkesan dipaksa-paksakan untuk didengar orang lain. Padahal, materi ceramah saya mungkin sekali biasa-biasa saja, dan gak penting-penting amat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun