Tahun 2016 ini, berpuasa in sya’ Allah akan genap 30 hari dan kita akan berlebaran bersama pada Rabu 6 Juli 2016. Menjelang Ramadhan berakhir, semua energi tampak terkuras untuk persiapan mudik. Tapi sebelum mudik, para pekerja di berbagai sektor sempat disibukkan oleh THR (Tunjangan Hari Raya), yang meskipun nilainya tidak terlalu besar, tetap saja diharap-harap cemas dan tentu menggembirakan.
Kebenaran, musim lebaran tahun 2016 berbarengan dengan pencairan Remunerasi, Gaji ke-13 dan Gaji ke-14 bagi saudara-saudara kita yang bekerja di instansi pemerintahan. Gaji ke-13 setara dengan gaji sebulan, sementara nilai gaji ke-14 (kompensasi tidak adanya kenaikan gaji pada 2016) sekitar 60 persen dari sebulan gaji pokok.
Dan kalau Anda seorang staf di instansi pemerintah dan sebagian swasta, THR biasanya dibayarkan berjenjang. Selain mendapatkan THR dari kepala lembaga/kementerian yang nilainya juga setara gaji, Anda juga akan mendapat THR dari pejabat eselon-I dan Eselon-II. Jika ditotal, kisarannya bisa mencapai angka sekitar Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah), yang merupakan gabungan gaji reguler bulan Juli, remunerasi, gaji ke-13, Gaji ke-14, THR kepala lembaga, pejabat eselon-I dan Eselon-II.
Lebarkah senyumnya? Dia berusaha keras untuk mensyukurinya, dan tampaknya sukses. Tapi kawan tadi juga menyadari penuh bahwa total penerimaan yang lumayan besar itu, akan segera ludes setelah mudik ke kampung halaman. Belanja pakaian baru untuk diri dan keluarganya, biaya perjalanan mudik dan arus balik nanti, di kampung akan membagi-bagi recehan kepada ponakan dan anak-anak tetangga, mungkin mentraktir teman pantarannya di kampung halaman. Dan kalau masih ada, dia akan berusaha membahagiakan kedua orangtuanya. Semua itu, menurut para pakar sosiolog, adalah ungkapan simbol kesuksesan bekerja di kota.
Saat akan pamitan untuk mudik, kawan tadi tiba-tiba menjabat tangan saya, dan dengan mimik yang serius, dia berkata “Skor kosong-kosong (0:0) di Hari Idul Fitri”. Saya belum sempat mencerna ucapannya, ketika saya menjawabnya “kosong-kosong juga”.
Awalnya saya pikir, ungkapan itu terkait dengan perhelatan Piala Eropa. Belakangan baru saya menyadari: oh, maksud ungkapan posisi kosong-kosong itu adalah kami saling memaafkan: dia memaafkan segala kesahalan saya yang disengaja ataupun tidak disengaja. Dan dia berharap aku juga memperlakukannya dengan pemahaman yang sama, sehingga skor kami berdua menjadi kosong-kosong (0:0) di hari Hari Idul Fitri.
Meski kawan itu tak bisa menjelaskannya, tetapi praktek maaf-memaafkan yang diungkapkan dengan istilah “skor kosong-kosong” itu tampaknya berangkat dari pemahaman yang utuh tentang idul-fitri (عِـيْدُ الْفِطْرِ), yang secara bahasa bermakna kembali ke fitra, bersama menuju kesucian awal, ke lembaran putih, minimal antar kami berdua.
Ramadhan karim, Ya Rabb
Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 02 Juli 2016 / 27 Ramadhan 1437H
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI