Semua mahasiswa merasa senang, akhirnya kampus kebanggaan miliknya mendapatkan pendatang baru. Seorang yang masih muda, bujangan dan memiliki gelar doktor.  Selama ini yang ada hanya pengajar berpendidikan S.1 dan sedikit lulusan S.2. Kalaulah ada profesor, dibelakangnya tertera Drs alias doctorandus.
Entah darimana sumbernya, cerita masa lalu sang doktor ini membuat hati trenyuh. Katanya ia menjadi korban putus cinta dari seorang perempuan. Kisah inilah yang akhirnya mengundang simpati di kalangan kampus, terutama mahasiswa perempuan. Sebuah setting yang bagus!
Enak lho diajar dia. Begitu untaian kalimat dari berbagai mahasiwa yang sudah mengenyam mata kuliah yang diajarkannya.
Enak gimana? Ya, enak. Dia bilang kalau mengikuti mata kuliahnya dijamin lulus, tidak ada nilai C atau D. Pokoknya semua bisa dapat A atau B.
Dor! Bagaikan tembakan peringatan polisi ke penjahat yang melarikan diri. Mahasiswa yang masih belum lulus mata kuliah itu dan yang ingin mengulang karena  mendapat C, seperti diberi angin sorga.
Tak heran, di semester-semester berikutnya, perkuliahan yang pegangnya kelebihan kapasitas. Mahasiswa harus berdesakan memasuki ruang. Bahkan, yang tidak kebagian te kursi  rela duduk lesehan. Ah, seperti naik angkutan jelang lebaran!
Sanga doktor palsu mulai naik daun, menjadi pembicara seminar dan juga nara sumber acara di stasiun radio swasta.
Cukup beberapa tahun saja ia bertahan dengan topeng doktornya. Karena satu dan lain hal, ada pihak yang mencurigai keilmuannya. Masa iya, doktor psikologi sosial, tapi lulus dari Pasca Sarjana IAIN.
Weleh, weleh, ternyata rektor yang menandatangani ijazahnya malah orang yang sudah pensiun!
Kampus gempar! Mahasiswa kebingungan, nilainya tergolong asli apa palsu?
_____________
Oenthoek Cacing-BumiCahyana, 27 Mei 2015