Saya kembali menjumpai hajatan lokal enam tahunan. Â Kali ini serentak pada 16 Desember 2018 kemarin. Ada 185 desa di Kabupaten Purbalingga yang memilih kepala desa. Â Sebuah peristiwa politik lokal yang sudah mengakar. Â Selalu dinanti warga desa dengan respon yang beragam. Â
Sebagai peristiwa rutin, tetapi berjarak enam tahun membuat momen ini memberi suasana hangat. Â Warung, pos ronda, teras rumah, bahkan gubuk sawah beberapa bulan terakhir menjadi wahana pembicaraan publik. Â Tentang siapa yang layak maju sebagai bakal calon. Â Agaknya benar kata pakar, kualitas pembicaraan publik menjadi ukuran kualitas demokrasi.
Saya sudah menjumpai Pilkades sedari SD. Â Menyaksikan bahwa peristiwa pergantian kepemimpinan lokal bukan saja peristiwa politik. Â Tentang peraihan kekuasaan itu. Ajang ini bisa untuk melihat sejauh mana kerentanan sosial masyarakat suatu desa. Â Banyak luka yang membekas bertahun tahun karena perbedaan pilihan. Â Antar tetangga tak bertegur sapa. Â Pertemanan renggang. Â Persaudaraan terkoyak. Â Tak heran saat bertemu saling ejek.
Seiring waktu, generasi berubah. Â Media informasi dan pendidikan mempengaruhi sikap dan perilaku politik masyarakat. Â Maka tak mengherankan bila Pilkades sekarang tak seriuh dulu. Â Kedewasaan menerima hasil, kalah ataupun menang sangat memesona.Â
Selesai pengumuman hasil rekapitulasi dan diketahui calon kades yang menang urusan selesai. Â Masyarakat kembali normal. Â Hanya respon sesaat dalam rasa gembira dan sedih. Â Selanjutnya bak pengamat, mereka mencoba analisis faktor menang dan kalah.
Pilkades tak ubahnya hajatan pernikahan. Rumah para calon kades adalah markas pemenangan. Â Tim sukses selalu berkumpul, pagi, siang hingga larut malam. Â Bahkan ada orang-orang yang dikhususkan untuk menjaga markas itu. Â Cara antisipasi perbuatan buruk untuk menggagalkan calonnya. Â Semua sibuk. Â Semua merasakan kelelahan dalam perjuangan.
Mendekati hari H, calon kades makin sibuk. Â Para pendukung silih berganti datang. Â Menunjukkan kepada calon bahwa dia siap memilih. Â Para perempuan tak ketinggalan. Dengan menjinjing wadah, yang entah apa isinya, memberikannya kepada istri calon kades. Â Kadang dari luar desa pun ikut nimbrung. Â Sejauh mereka mengenal sang calon. Â Mereka memberi simpati. Â Sepulangnya, para tamu pria mendapatkan sebungkus rokok. Â Sedang tamu perempuan ada sekedar bungkusan oleh oleh. Â
Rokok adalah simbol persahabatan, mungkin itu maknanya. Â Bisa dihitung, berapa slot rokok yang mesti disediakan. Â Tapi begitulah penghormatan calon kades kepada tamunya. Â Belum lagi untuk tim sukses yang tiap hari " ngantor". Â Tapi hal ini tidak menjamin. Â Yang datang bisa jadi bukan pemilih. Â Ada segelintir orang yang mau ambil kesempatan. Â Kepada semua calon mereka datangi. Â Dan ujungnya biar dapat rokok gratis.
Satu hal yang sering merisaukan adalah permainan uang. Money politics! Â Pilkades sangat rawan dengan hal ini. Â Sudah bukan rahasia lagi. Â Tetapi tidak juga reda. Â Memang tidak ada laporan resmi berapa uang yang harus digelontorkan oleh calon kades. Â Sangat mungkin ratusan juta. Â Uang dari mana? Pertanyaan yang sebenarnya sering terlontar. Â
Bayangkan, jika untuk urusan seperti ini harus hutang, akankah dalam enam tahun kembali. Â Sangat mungkin, Pilkades tidak memiliki penyandang dana. Â Nyaris tanggungan pribadi. Â Kalaulah ada yang membantu, tak lebih saudara dekatnya. Tentu dengan jumlah yang terbatas. Â Maka ketepatan kepada siapa memberi sangat penting. Â Tapi sebenarnya, tidak ada jaminan jor-joran bagi bagi duit akan memenangkan pertarungan. Â Itu seperti memanah sambil naik kuda. Â
Hal yang menarik, pemberian uang semacam itu terang terangan. Â Mendatangi rumah dan memohon kesediaan untuk memilih. Â Bisa jadi, jika ada empat calon, satu rumah bisa mendapat dari keempatnya. Â Ada suatu kearifan, para anggota keluarga berbagi suara untuk ke empat calon itu. Â Tidak ada yang dikesampingkan. Semua kebagian suara.