Mohon tunggu...
Rizka Khaerunnisa
Rizka Khaerunnisa Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Mengumpulkan ingatan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Merangkai Puing-puing Kejayaan yang Redam oleh Zaman

8 Februari 2019   14:02 Diperbarui: 28 Agustus 2020   13:26 3999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Plang Karawang Theatre/dokpri

Sabtu (19/1/2019) saya berkesempatan ngobrol-ngobrol dengan Pak Iwan, 62 tahun, seorang karyawan senior bioskop Karawang Theatre (KT), selanjutnya ditulis KT dengan pelafalan 'kat'. 

Ide ini muncul pada Jumat malam sebelumnya, ketika saya tengah mencari-cari inspirasi; saya ingin mengulik Karawang lewat wacana yang terpinggirkan dan mudah diakses oleh saya yang amatiran ini. 

Sebuah langkah kecil untuk mengenali kembali kota yang selama ini cuma jadi tempat persinggahan saja dalam kehidupan saya. Ide ini seperti benda yang telah tenggelam selama beberapa tahun, lalu timbul kembali ke permukaan. Suatu gagasan yang terlupa dan hampir berkarat.

Dulu, suatu hari di malam minggu, saya melewati gedung bioskop KT di jalan Tuparev dengan sepeda motor sambil memandang sekilas pada cahaya-cahaya bohlam yang bertengger di langit-langit gedung dan siluet keramaian orang yang tak seberapa jika dibandingkan dengan penonton di bioskop CGV di Festive Walk, dan bioskop 21 di Mal Karawang dan Resinda Park Mall yang baru dibangun beberapa tahun belakangan. 

Lantas pikiran saya menyentil suatu pertanyaan yang diam-diam dipertanyakan juga oleh orang-orang Karawang. Bagaimana nasib KT di tengah pusaran kemajuan zaman?

Maka Sabtu siang itu, tanpa perencanaan yang matang dan hanya iseng sekadar bernostalgia, saya datang ke KT bersama seorang kawan lama, Devi. Singkat cerita, saya berhasil bertemu dengan Pak Iwan yang sedang berada dalam ruang loket yang sekaligus dijadikan kantor kecil untuk para karyawan. Saya meminta izin untuk mengobrol dengannya seputar sejarah KT, alih-alih dalam bahasa formal adalah wawancara. 

Membawa embel-embel topik 'sejarah', Pak Iwan tampak agak segan membicarakannya. Ia beralasan, "Saya takut salah bicara atau ngasih informasi yang keliru". Ia memohon maaf kalau informasi yang akan diberikannya tidak benar-benar lengkap dan utuh. 

Saya mencoba menjelaskan padanya bahwa informasi sesederhana apa pun darinya, akan berharga bagi pengetahuan saya yang sangat nol ini. Saya ingin mengobrol ringan-ringan saja. Pak Iwan menyetujui dan mulailah kami mengobrol seperti air mengalir.

Ruang kantor itu menghubungkan loket I dan II, lebarnya tak seberapa, hanya dua meter. Saya duduk di hadapan meja panjang yang berhimpitan dengan dinding, meja yang hanya ada satu-satunya di ruang itu. Di atas meja bertebaran kertas-kertas berisi catatan kecil dan tiket-tiket, juga beberapa ATK. Di dinding yang berhimpitan dengan meja, tergantung kalendar 2019 dan jam dinding yang sudah usang. 

Di atasnya lagi bertengger AC bewarna kusam, mengembuskan uap udara yang sama sekali tak terasa dingin. Di dinding itu pula bertengger lampu neon. Yang menarik perhatian saya adalah selembar kertas yang tertempel di dinding berisi instruksi dari pemilik bioskop, Pak Moksen, agar karyawan selalu menjaga kebersihan gedung ini. Tulisan itu bertanggal 3 Oktober 2018, tetapi masih ditik dengan mesin ketik manual. 

Aroma tua merebak di antara warna-warna dinding yang kusam. Tidak hanya itu, sebuah telepon kusam yang sudah lama tak berfungsi masih saja bertengger di dinding, membuktikan bahwa ruangan ini memang berusia tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun