Mohon tunggu...
Ryan Perdana
Ryan Perdana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembaca dan Penulis

Kunjungi saya di www.ryanperdana.com dan twitter @ruaien

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Metamorfosis atau Senja Kala Mal?

15 Maret 2019   08:54 Diperbarui: 15 Maret 2019   09:28 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Dua tahun silam, tirto.id menurunkan laporan mendalam yang terdiri dari tujuh artikel. Artikel-artikel itu bertema mal dan perkembangan jaman yang melingkupinya. Meski sudah dalam hitungan tahun, ternyata berita itu berhasil tersimpan baik dalam benak saya. Berita itu menarik untuk diingat karena menyentuh beragam aspek yang aktual dan dekat dengan keseharian.

Satu artikel yang paling menyita perhatian membahas perihal matinya mal-mal di Amerika Serikat (AS). Di dalamnya, terpampang data-data mencengangkan tentang tutupnya mal-mal itu. Tentu, ada musabab yang membuat mereka pamit dari industri yang pernah berjaya sekian dasawarsa lamanya.

Beberapa hari lalu, CNN Indonesia melaporkan lima mal di Jakarta yang dari hari ke hari semakin menurun tingkat hunian pengunjungnya. Spontan, ingatan mengarah pada artikel dua tahun lalu di atas. Pertanyaannya, apakah wabah muramnya industri ritel di AS tengah menular ke negeri kita?

***

Sejak membaca artikel di tirto.id tentang banyak mal di AS yang tutup, kunjungan saya ke mal tidak lagi sama seperti sebelumnya. Apabila dulu ke mal hanya berkonsentrasi membeli dan memakan sesuatu, pasca artikel, ke mal kami tambah dengan agenda mengamati pengunjung mal lainnya.

Hasil amatan kami sejauh ini, semakin banyak orang yang keluar dari mal tidak dengan membawa tentengan tas hasil belanja. Secara sederhana, dapat disimpulkan, orang ke mal saat ini bukan semata dalam rangka membeli barang. Pengunjung, akhir-akhir ini, lebih tertarik menempatkan mal sebagai tempat untuk hang-out, kongkow, meeting, atau sekadar tempat untuk melepas penat.

Mal mulai tidak diposisikan sebagai kumpulan gerai yang menjual beragam barang kebutuhan. Mal bergeser menjadi tempat rekreasi dan berkumpul.

Saya pribadi, sampai sekarang masih terkategori sebagai pengunjung konservatif. Saya tetap memandang mal sebagai toko, dimana saya bisa membeli barang kebutuhan. Sampai setua ini, saya belum pernah berkunjung ke mal dalam rangka hanya untuk makan, minum, atau membuang waktu luang.

Sampai berkunjung ke mal, artinya di tempat lain saya tidak bisa menemukan barang yang saya cari. Maka, saya tidak cukup sering ke sana. Walau tidak jauh untuk menjangkaunya karena di tiap sisi Yogya ada, jika bukan karena butuh, mal bukanlah tempat jujugan.

***

Berdasar data di AS, banyak mal tutup disebabkan oleh bergesernya pola konsumsi masyarakat. Jika dahulu orang mengumpulkan uang untuk membeli barang, saat ini lebih memilih untuk berbelanja pengalaman. Dewasa ini, orang lebih gemar mengoleksi kenangan dengan bepergian ke beragam tempat, daripada menumpuk barang yang jika dituruti tidak akan ada habisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun