Mohon tunggu...
Ryan Agatha Nanda Widiiswa
Ryan Agatha Nanda Widiiswa Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Amatiran yang hanya bisa Mengkritisi tanpa Solusi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Subsidi Termahal Indonesia di Balik Selimut Subsidi BBM

20 Juni 2013   16:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:41 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumen sharealogo.com

Mengapa bisa timbul Belanja Subsidi BBM ? Belanja Subsidi BBM disini  bukan karena kerugian uang yang harus dikeluarkan negara atas selisih biaya produksi dan harga jual tetapi lebih karena opportunity cost yang timbul dari penjualan BBM. Karena sebagian besar BBM kita didapatkan dengan kontrak bagi hasil dengan perusahaan asing tetapi, maka otomatis kita hanya mengeluarkan biaya produksi sekitar (biaya olah dr kilang ke spbu) 900 rupiah perliter karena biaya eksplorasi dan eksploitasi,kita bayar dengan sejumlah minyak kepada perusahaan asing. Terus dari mana timbulnya Subsidi BBM ? Singkatnya dikarenakan setiap tetes minyak yang diterima negara dinilai senilai harga pasaran dunia (ICP) sekitar 9000 dan kemudian dijual oleh pertamina seharga 4500. Mengingat posisi tawar negara kita yang lemah dalam menarik pajak lebih “tegas” kepada perusahaan multinasional dan perusahaan asing , maka harga BBM memang opsi paling logis bagi pemerintah agar menambah dana segar untuk pembangunan. Apalagi negera kita perlu dana pembangunan yang banyak untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dari negara tetangga untuk menyambut era Perdagangan Dunia Bebas

“Menurut Firdaus Ilyas , Koordinator Divisi Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa Jumlah tunggakan pajak perusahaan go public hingga akhir tahun 2008 tercatat sebesar Rp 27,32 triliun”

“Iwan J Piliang, Pengamat perpajakan dari Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) mengutip data dari Organization of Economic Cooperation Development (OECD) berpendapat bahwa kerugian penerimaan pajak Indonesia akibat transfer pricing pada tahun 2009 mencapai Rp1.300 triliun”

Baiklah,kita semua setuju subsidi BBM dihapuskan untuk menambah dana pembangunan,tetapi perlu kita cermati bahwa upaya pemerintah upaya mengurangi intensitas ketergantungan masyarakat terhadap BBM terkait penghapusan subsidi BBM masih “terlihat” belum efektif. Kita ambil contoh ketika kenaikan BBM pada tahun 2005 sebesar 120%,  walaupun BBM saat itu dinaikkan kemudian menambah dana tambahan bagi pemerintah tetapi penggunaan dana tersebut untuk mengurangi ketergantungan BBM belum “terlihat” efektif.Disaat rakyat disuruh mengurangi ketergantungannya terhadap BBM,disaat yang sama pabrik pabrik kendaraan pribadi tetap dibiarkan berproduksi secara besar besaran dan meningkat setiap tahunnya hingga sekarang. Bila dicermati kembali,malahan harga dari kendaraan pribadi tersebut dari tahun ke tahun terjadi penurunan harga dan semakin banyak promo mudah untuk mendapatkannya.   “perkembang biakan” transportasi umum di kota kota besar seperti Jakarta juga sangat jauh dibawah “perkembang biakan” kendaraan pribadi,sehingga makin meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap BBM.

Kita ambil contoh kota Jakarta

“Dari data Polda Metro Jaya,tahun 2011 di Jakarta terdapat 7,34 juta Juta unit kendaraan pribadi yang terdiri dari kendaraan roda empat sebesar 2,5 juta unit dan kendaraan roda dua hampir 5 juta unit sedangkan hanya terdapat 180 ribu unit transportasi umum. Selain itu menurut Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta,Riza Hashim terdapat kenaikan 1.068 motor setiap harinya dan 216 mobil”

Transportasi sembako yang belum diambil alih oleh negara atau disubsidi,juga membuat ketergantungan masyarakat terhadap BBM tak terhindarkan karena kenaikan harga BBM akan berpengaruh ke harga sembako. Melihat hal ini,jelas golongan bawah dan menengah kebawah menjadi terpengaruh “negatif” terhadap kenaikan harga BBM. Memang BBM subsidi paling besar dinikmati oleh orang mampu,tetapi apabila subsidi dihapuskan tanpa ada upaya pengurangan pengaruh kenaikan BBM terhadap masyarakat miskin maka pengurangan subsidi BBM bisa memberikan dampak “negatif” yang besar terhadap masyarakat miskin. Malah kalo kita mau merenung sejenak,bisa jadi pencabutan BBM subsidi sangat memberatkan masyarakat miskin. Walaupun memang hasil dana pengurangan subsidi BBM digunakan untuk pembangunan dan pendidikan,tetapi bukankah sebelum masyarakat miskin memikirkan pendidikan lebih dulu memikirkan kebutuhan pangannya ? Untuk kenaikan BBM tahun ini,pemerintah telah merencanakan  program BLSM untuk menanggulangi efek “negatif” yang akan diterima oleh masyarakat miskin. Tetapi yang perlu kita cermati kali ini adalah program BLSM yang merupakan jangka pendek dan sangat riskan terjadinya “kegagalan target”karena data kependudukan kita sangat diragukan kualitasnya untuk menetukan jumlah orang miskin.

Pada akhirnya setelah melihat kondisi yang ada termasuk posisi tawar yang lemah pemerintah kita terhadap perusahaan asing dan multinasional untuk "lebih tegas" menarik pajak,maka sudah tidak sepantasnya kita memperdebatkan apakah harga BBM layak naik atau tidak tetapi seharusnya mempertanyakan seefektif mana upaya pemerintah dalam mengurangi “efek negatif” yang akan diterima oleh masyarakat miskin ? Saya pikir pertanyaan ini,bukan ranah kita untuk menjawabnya karena tak satupun diantara kita yang menjadi masyarakat miskin

Tetapi sebenarnya bukan hal ini yang ingin saya bahas dalam artikel ini,saya ingin sedikit membahas tentang “subsidi yang terabaikan” yang selama ini terus menerus di lakukan oleh pemerintah. Mungkin sebelum membahasnya, saya ingin mempersamakan persepsi terlebih dahulu tentang apa yang yang disebut dengan subsidi. Subsidi tidak selalu didefinisikan dengan “keluar uang” yang harus dilakukan oleh pemerintah,tetapi dalam arti luas subsidi bisa diartikan sebagai hilangnya kesempatan memperoleh manfaat (uang) yang lebih besar dari kondisi normal atau sering disebut dengan opportunity cost. Contohsubsidi arti luas ini seperti yang ada pada subsidi BBM,yaitu hilangnya kesempatan pemerintah memperoleh uang maksimal karena tidak menetapkan harga sama dengan harga pasar dunia. Tetapi pernahkah kita mencoba menarik konsep subsidi luas ini untuk diterapkan pada pembayaran royalti hasil pertambangan ? Kita ketahui bahwa setiap hasil tambang yang dikeluarkan dari perut bumi Indonesia oleh sebuah perusahaan tambang,perusahaan tersebut hanya perlu membayar royalti sekitar 7-15% dari total tambang yang diperoleh. Fakta ini menjadi sangat menarik ketika kita melihat kondisi royalti yang dibayarkan PT Freeport yang hanya sebesar 3.75 % dari semua hasil emas yang diambilnya dari bumi Indonesia.

“Padahal tambang Grasberg yang terdapat di Papua merupakan tambang emas terbesar didunia dengan 1,8 juta ounce pertahun dan juga menjadi tambang tembaga terbesar ketiga di dunia”

Melihat kondisi kekayaan tambang yang dikelola Freeport maka ada baiknya saya mengambil contoh PT Freeport untuk menjabarkan sedikit tentang “subsidi yang terabaikan”terhadap royalti emas.

Contoh Perhitungan Orang Awam tentang Emas dan Tembaga Freeport Data 2010 (mengabaikan hasil perak dan mineral)

Kita tetapkan kurs sebesar 9000

1.(Unit Cost) Biaya pengolahan dan pencarian emas dan tembaga di tambang Freeport berkisar US$ 0,1 per pound atau sekitar 900 rupiah per pound dan ounce .Disini saya mengabaikan fixed cost pendirian perusahaan dan alat berat,mengingat tambang ini sudah berdiri sejak 1967 sehingga sudh dipastikan fixed costnya terlunasi.

2. Freeport menjual 1,2 miliar pounds tembaga dengan harga rata-rata US$ 3,69 per pound, atau dengan kurs Rp 9.000 berarti setara dengan Rp 39,42 triliun

3. Freeport juga menjual 1,8 juta ounces emas dengan harga rata-rata di 2010 US$ 1.271 per ounce, atau dengan kurs Rp 9.000 berarti setara dengan Rp 20,59 triliun

4. Royalti untuk Tembaga 3,25 % dan 3,75% untuk Emas (walaupun pada tahun 2010 freeport hanya mengenakan royalti 1%)

5.Agar adil terhadap perusahaan Freeport,kita beri patokan penerimaan maksimal negara dari Emas dan Tembaga sebesar 70 % dari harga pasaran dunia emas dan tembaga,sehingga PT Freeport masih dapat menikmati 30%. ( saya sengaja mengambil 70% karena BBM sekarang pemerintah mengenakan harga 70% dari harga dunia yang berada di level 9000an)

Perhitungan Orang Awam

Pemasukan Maksimal Pemerintah (asumsi 70% harga dunia/penjualan Freeport)

Pemasukan Emas : 1,8 juta ounce  x  US$ 1.271 x  Rp 9.000 =  Rp 20,59 triliun x 70 % =  Rp 14,413 Triliun

Biaya Pengolahan Emas : 1,8 juta ounce x Rp 900 =  Rp 1,62 Milliar

Laba Bersih Pemasukan Emas : Rp 14,411 Trilliun

Pemasukan Tembaga : 1,2 miliar pounds x  US$ 3,69 per pound x Rp 9.000 =  Rp 39,42 triliun x 70 & = Rp 27,594 Trilliun

Biaya Pengolahan Tembaga : 1,2 milliar pounds x Rp 900 =  Rp 1,08 Trilliun

Laba Bersih Pemasukan Tembaga : Rp 26,514 Trilliun

Total Pendapatan Maksimal Pemerintah seharusnya secara Orang Awam : Rp 40,925 Trilliun

Sedangkan pendapatan yang sekarang diterima oleh pemerintah

Emas : Rp 20,59 Trilliun x 3,75% = Rp 0,772 Trilliun

Tembaga : Rp 39,42 trilliun x 3,25% = Rp 1,28 Trilliun

Total Pemasukan Pemerintah dari Royalti = Rp 2,052 Trilliun

Selisih dari Royalti dengan pendapatan seharusnya : Rp 38,873 Trilliun

Sehingga secara perhitungan orang awam ,pemerintah secara tidak langsung memberikan subsidi kepada PT Freeport atas hasil Emas dan Tembaga sebesar Rp 38,873 Trilliun pada tahun 2010

Tentu saja angka diatas tidak 100 persen menggambarkan kondisi dilapangan,karena itu hanya perkiraan kasar dari laporan keuangan Pt Freeport tahun 2010.Yang saya tekankan disini bukan masalah kebenaran angka diatas,tetapi tentang bagaimana pemerintah secara tidak langsung memberikan “subsidi” kepada PT Freeport untuk mendapatkan emas dan tembaga dengan harga yang sangat jauh dari harga pasaran. Mungkin sangat menyedihkan ketika negara dunia ketiga seperti Indonesia memberikan “subsidi” kepada negara Adidaya seperti Amerika untuk dapat memiliki emas dan tembaga dengan harga rendah,tetapi apapun yang terjadi tentu ini merpakan buah dari perjanjian yang sudah disepakati kedua negara.

Tapi perlu kita sadari bahwa angka diatas barulah perhitungan kasar satu perusahaan,bagaimana dengan ratusan perusahaan tambang kita yang lain yang hanya dikenakan biaya royalti yang rendah dan belum menggunakan sistem bagi hasil??

Semoga kita dan pemerintah dapat merenungi semua hal yang terjadi ini,bukankah katanya subsidi hanya diberikan utuk masyarakat miskin??? tetapi selama ini pemerintah kita secara tak langsung menyubsidi negara negara maju dunia untuk dapat mengambil sumber daya alam kita dengan murah

Tapi mau bagaimana lagi memang beginilah nasib negara dunia ketiga dengan kekayaan alam yang selalu mempunyai posisi tawar lebih lemah dari pengeruk kekayaan alamnya. Saya yakin pemerintah menyadari “subsidi yang terabaikan” ini,tetapi dengan segala perjanjian yang telah disepakati oleh rezim terdahulu dan dengan power yang dimiliki negara asing,menerima dengan pasrah mungkin sebuah pilihan terakhir yang mungkin juga menjadi pilihan terbaik untuk saat ini.

dokumen sharealogo.com

“Perusahaan asing yg kita  terus menerus kita beri “subsidi” untuk dapat memiliki sumber daya alam kita dengan harga murah merupakan fakta yang sangat menyedihkan.Tetapi melihat semua kondisi yang ada termasuk tekanan dari asing dan posisi tawar negara kita yang lemah,berdoa kepada Tuhan merupakan langkah perlawanan yang paling masuk akal”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun