Badan Pusat Statistik mengungkapkan bahwa produksi jagung bakal dihitung dengan metode baru, yakni dengan Kerangka Sampling Area (KSA). Metode itu telah digunakan pada penghitungan produksi beras nasional yang datanya telah kita terima belum lama ini.
Wajar saja BPS mengubah metodenya. Ada kesamaan pada data produksi beras dan jagung yang disampaikan Kementan: keduanya overestimate, alias berlebihan. Keputusan BPS ini sangat tepat, sebab data pangan yang salah hitung, bakal mengacaukan proses pengambilan keputusan.
Kita sudah merasakan sendiri akibatnya. Akhir tahun lalu, Kementan ngotot stok beras surplus hingga jutaan ton. Padahal harga kala itu sudah melonjak tinggi. Bahkan Operasi Pasar secara masif pun tak berpengaruh signifikan. Namun Kementan terus bersikukuh dengan klaim surplusnya. Â
Tak ingin ambil resiko, Kemendag mengumumkan impor pada awal tahun, yang kemudian kewenangannya diambil alih oleh pemerintah. Tetapi para pengamat menilai keputusan itu sudah terlambat. Mestinya impor dilakukan pada pertengahan 2017, bukan pada awal tahun saat para petani hendak panen.
Seandainya Kementan tak mendahulukan gengsi dan melaporkan data yang lebih akurat, keputusan impor dapat diambil jauh-jauh hari. Inilah fungsi utama data: menjadi acuan untuk pengambilan keputusan perlu atau tidaknya impor untuk antisipasi dan kapan tepatnya impor dilakukan agar tak menggelisahkan petani.
Kejadian serupa mungkin saja terjadi pada komoditas jagung. Lihatlah kini para peternak dan pelaku usaha pakan sudah berebut stok jagung, dengarkan keluhan mereka tentang harga jagung pakan yang kian mahal.
Kementan? Tentu saja mereka kekeuh bahwa produksi jagung surplus nan melimpah. Mereka bersikeras membuktikannya pula dengan menggeber pemberitaan ekspor jagung seolah berkata "Ini lho kita sampai ekspor saking melimpahnya. Stok aman, kok!"
Padahal, harga jagung pakan bakal mempengaruhi harga jual daging ayam dan telur. Jika ayam dan telur mahal, siapa yang bakal kena getah? Bagaimana cara Kementan menyediakan jagung pakan murah untuk para peternak secara merata hingga akhir tahun ini?
Tak salah bila kita simpulkan bahwa Kementan enggan berbenah diri. Buktinya? Pada kisruh data beras, Kementan pasti tahu betul bahwa data produksi tak akurat sejak 1997, metode penghitungan yang mereka pakai sudah tak andal.
Alih-alih berbenah data, mereka justru diam dan dengan acuhnya tetap melaporkan data yang kurang akurat kepada masyarakat. Imbauan para pengamat pertanian soal serangan hama juga diabaikan. Mereka tahu ada yang salah dengan pertanian Indonesia, namun memilih tak mau tahu.
Sekarang Kementan memproyeksikan produksi jagung hingga akhir tahun mencapai 30,43 ton, dengan jumlah konsumsi mencapai 15,58 juta ton. Bukan main banyaknya kita punya sisa jagung. Namun harga jagung pakan kini sudah Rp5.200, melampaui harga acuan di tingkat konsumen yang hanya Rp4.000/Kg.