Mohon tunggu...
Ahmad Muhtar Wiratama
Ahmad Muhtar Wiratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Masyarakat dan Penulis Amatir dari Rawamangun

Untuk informasi lebih lanjut tentang saya, hubungi detail-detail kontak di bawah ini: Instagram: @amw.1408 Email: rwselusin@gmail.com WA: 0852.1622.4747

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Logika Pendataan DTKS dan Mekanisme Bantuan-Bantuan Sosial Lainnya

23 Agustus 2022   19:53 Diperbarui: 23 Agustus 2022   20:19 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pekan ini, Pemprov DKI Jakarta kembali membuka pendaftaran DTKS. Jendela pendaftaran itu sendiri tidak terlalu lama, hanya tiga pekan, mulai dari tanggal 22 Agustus hingga 10 September 2022. Ini adalah pendaftaran DTKS tahap ke-3 dari empat tahap yang diagendakan setiap tahunnya. Tapi sebelum kita lebih jauh, kebanyakan pembaca mungkin masih bingung: apa sebenarnya DTKS itu?

Kepanjangan DTKS adalah data terpadu kesejahteraan sosial. Nama-nama yang tercantum dan lolos seleksi dalam DTKS akan mendapatkan jatah pelbagai jenis bantuan sosial baik yang berasal dari Dinas Sosial provinsi setempat serta Kementerian Sosial Indonesia. Di DKI Jakarta, nama orang-orang yang tercantum dalam DTKS nantinya berhak mendapatkan program bantuan yang bersumber dari APBD seperti KLJ, KPDJ, KAJ, KPAR, KJP Plus, dan KJMU, atau yang bersumber dari APBN seperti PBI, PKH, dan PBNT. Singkatnya, jika anda termasuk orang yang tidak mampu, maka sangat penting dan krusial nama anda tercantum di dalam DTKS ini.

Yang jadi masalah, pemerintah sepertinya tidak serius menyikapi pendataan DTKS. Padahal, data tersebut sangat penting artinya bagi orang-orang yang membutuhkannya -- selain merupakan kewajiban pemerintah juga untuk menyalurkan uang pajak kepada masyarakat. Ketidakseriusan pertama sudah terlihat dari tata cara pendataan DTKS itu sendiri yang dilakukan melalui pendaftaran langsung oleh warga tidak mampu yang dilakukan secara daring melalui situs https://dtks.jakarta.go.id/.

Sekilas seperti tidak ada yang keliru dengan cara ini. Cukup buka ponsel atau laptop di rumah, lalu gunakan jaringan internet untuk mendaftar dan selesai. Sangat praktis bukan? Tidak ada yang salah dengan logika ini -- jika kita berasumsi bahwa pendaftar sudah memiliki ponsel atau laptop atau jaringan internet atau bahkan ketiganya. Tapi kita harus ingat bahwa DTKS ditujukan bagi warga tidak mampu, mulai dari yang berada di garis kemiskinan sampai dengan yang miskinnya kebangetan. Jika kita melewati manusia-manusia gerobak yang berteduh di bawah kolong jembatan, atau lansia-lansia yang hidup sebatang kara di rumah-rumah petak yang gelap, maka itulah orang-orang yang paling membutuhkan namanya untuk terdaftar di DTKS. Cukup berani bagi pemerintah untuk berasumsi bahwa orang-orang ini memiliki akses kepada ponsel, laptop, atau jaringan internet.

Pemerintah, tentu saja tidak bodoh. Mereka sudah menyiapkan pengaman sekiranya calon pendaftar terkendala dengan metode pendaftaran daring. Caranya adalah dengan mendaftar secara manual, yakni datang langsung ke kantor kelurahan sesuai domisili dengan membawa kopi KTP dan KK. Tapi lagi-lagi, metode ini membutuhkan orang-orang tidak mampu untuk aktif bergerak -- minimal ke kantor kelurahan. Padahal, info tentang pembukaan pendaftaran DTKS saja mereka belum tentu memperolehnya karena sosialisasinya teramat sangat minim. Kita tidak melihat spanduknya dimana-mana, atau iklannya di media massa. Bahkan di kebanyakan kantor kelurahan, ASN-nya seperti tidak lagi bergerak aktif untuk memberitakan tentang pembukaan pendaftaran DTKS. Berbeda jika itu tentang program penilaian yang berkaitan dengan hajat hidup si ASN itu sendiri, yang akan disosialisasikan terus menerus kepada RT dan RW siang dan malam. Padahal, sosialisasi sebenarnya adalah bagian dari proses pendataan DTKS. Namun, sosialisasi yang dilakukan oleh Pemprov DKI paling banyak dilakukan melalui akun-akun media sosial atau situs resmi -- yang lagi-lagi membutuhkan jaringan internet.

Secara logika, kepantasan pendataan DTKS yang menuntut orang tidak mampu untuk mendaftar itu sendiri patut dipertanyakan. Bukankah Pasal 34 UUD 1945 secara gamblang menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara? Pasal ini tidak menyebutkan yang dipelihara oleh negara adalah fakir miskin dan anak-anak telantar... yang mendaftar. Lantas bagaimana dengan nasib orang tidak mampu yang tidak mendaftar ke DTKS karena satu dan lain hal? Maka dalam hal ini negara telah lalai menunaikan kewajibannya kepada warga tidak mampu -- yang seharusnya lebih dipandang sebagai kegagalan dari pihak pemerintah, bukan kealpaan dari orang itu sendiri.

Negara sebenarnya tidak kekurangan cara untuk mendata warganya yang tidak mampu secara otomatis. Bukankah adalah kewajiban pemerintah memiliki big data yang salah satu tujuannya adalah digunakan untuk keperluan ini secara spesifik? Namun alih-alih memikul tanggung jawab, pemerintah seolah mengalihkan tugas ini kepada orang-orang miskin yang termarginalkan -- pihak terpinggirkan yang seharusnya paling membutuhkan kehadiran negara -- dengan menuntut mereka untuk mendaftar lagi. Seolah-olah pemerintah setengah hati dalam memberikan bantuan dan hampir seperti berharap agar tidak banyak anggaran yang dikeluarkan untuk bantuan-bantuan sosial ini.

Mengenai carut marutnya sistem pendataan bantuan sosial oleh pemerintah memang bukan barang baru. Sebagai contoh, pengurus RT dan RW menjadi saksi bagaimana amburadulnya data penerima bansos bagi warga selama pandemi yang lalu. Ada yang hari ini muncul dan besok tidak, sampai ada pula yang tidak mendapatkan bansos kendati sudah diusulkan, sementara tetangganya yang tidak diusulkan justru mendapatkan bansos berdasarkan data antah berantah. Namun, inilah tugas pemerintah untuk terus memperbaiki data agar tercapainya keselarasan pendistribusian bantuan kepada yang berhak. Bukankah pemerintah selama ini mendapatkan bantuan dari relawan-relawan dasa wisma dan pengurus RT/RW untuk melakukan pendataan di lapangan? Namun, mengapa seolah data-data yang terkumpul tidak pernah digunakan secara benar sesuai tujuannya? Jika data-data tersebut benar digunakan, maka tentu pemerintah dapat mengandalkan data yang sudah dimiliki sebagai patokan DTKS, alih-alih menuntut orang-orang tidak mampu untuk mendaftarkan diri mereka lagi dan lagi untuk mendapatkan apa yang sudah seharusnya menjadi hak mereka.

Semoga ke depannya pemerintah dapat terus memperbaiki proses pendataan dan pendistribusian bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat. Jadi, warga tidak mampu dapat ikut merasakan perlakuan istimewa dari negara -- yang selama ini hanya diberikan kepada pejabat-pejabat elit yang belum tentu juga memberikan kontribusi bagi orang banyak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun