Mohon tunggu...
Pendidikan

"Feminis Muslimah" oleh Neng Dara Afifah

25 November 2018   19:14 Diperbarui: 25 November 2018   19:18 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Membaca buku ini membuat saya mendapatkan informasi dan ilmu pengetahuan yang belum pernah saya dapatkan. Buku yang di ceritakan secara real dan benar-benar telah terjadi di kehidupan nyata penulis. Beliau menuliskan perjalanan hidup yang benar-benar terperinci mulai dari etnis, gender, agama, dan identitas negara. Di dalam buku ini penulis mengemukakan bahwa perempuan setara dengan laki-laki. Memahami setiap kehidupan penulis dengan penuh perjuangan dan makna sehingga menjadikannya sebagai muslimah feminis.

Pada lembar pertama buku menceritakan sebuah biografi penulis dimana penulis di lahirkan dan berasal dari daerah Banten, di kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang yang Lahir pada bulan April 1970 yang lahir dari sebuah pasangan Suami-Isteri yang kental akan agama Islamnya. Yang mana Ayahnya adalah seorang pemimpin pesantren sekaligus pemimpin masyarakat dan Ibu nya seorang kepala sekolah di sekolahnya tersebut.

Pada saat beliau masih kecil, ia sudah di didik dengan Agama Islam yang kuat, melihat lingkungannya yang juga sebagai tokoh Islam serta orang-orang yang berpengaruh bagi masyarakat sekitar. Semenjak kecil ia sudah mulai membaca bacaan-bacaan yang berat sehingga ia sudah tumbuh sebagai anak yang memiliki wawasan serta pengetahuan yang lebih matang daripada teman-teman seusianya yang lain. Kemudian ia mulai mecari tahu dan ingin membangun identitas islamnya. Waktu itu ia masih belia dan memiliki ketertarikan pada  paham teologi Wahabi.

Kemudian setelah ia menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar ia melanjutkannya kesebuah Pondok Pesantren Al-quran di serang yang mendalami ilmu Qori' kendati mengingat keinginan ibunya untuk menjadikannya sebagai Qori'ah atau membaca alquran dengan lantunan. Lalu di sana ia mengikuti sebuah kelompok pengajian yang di namakan "Usroh" metode pengajian tersebut yang bersifat kaku , tidak membuka dialog, dan cenderung mengarah pada doktrinisasi. Hal ini kemudian membuat ia merasa tidak bisa bergerak bebas karena dalam pesantren tersebut hanya mengajarkan melihat sesuatu dengan sudut pandang halal dan haramnya saja. Akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari Pondok Pesantren itu.

Lalu ia melanjutkan pendidikan di sebuah pesantren  di Tasikmalaya. Di pendidikan Sekolah Menengah Atas ia mulai tertarik pada aliran fundamentalis. Ia merasa keterkungkungan dalam menjalani ibadah fundamentalis itu. Kebebasannya mulai terusik ketika ia masuk ke sebuah perguruan tinggi lalu masuk ke dalam lingkungan pergerakakan mahasiswa di IAIN, dia mulai bingung untuk masuk organisasi HMI atau PMII dimana pad dasarnya keluargnya termasuk orang-orang PMII yang mendasar pada NU. Semasa kuliah tsb ia juga aktif dalam organisasi belajar atau forum dikusi mahasiswa ciputat (FORMACI).

Di dalam forum tersebut lah ia mulai mengenal  feminisme dan terlibat dalam oragnisasi-organisasi atau lembaga pemberdayaan perempuan lainnya. Perkenalannya dengan feminimse membuat ia sadar dan merasa adanya ketikak adilan yang di alami perempuan antara perempuan dengan laki-laki. Kemudian ia mencoba mensosialisasikan permasalah tersebut kepada masyarakat melalui media milik organisasi besar yakni, warta NUPBNU (1992)

Pertama-tama ia membahas tentang etnisitas yang ada di Banten. Etnisitas adalah penegasan sosial mengenai keberadaan seseorang dan dari tanah itulah seseorang berasal (Greetz:1974). Sebuah kelompok etnis merupakan kategori populasi yang khas dalam masyarakat menyangkut kebiasaan, norma-norma dan gaya hidup pada umumnya yang biasanya berbeda dengan etnis yang lain. Etnisitas amat melekat dalam diri seseorang seperti identitas agama. Walaupun ketegangan etnis di Banten tidak pernah muncul ke permukaan, tetapi sebenarnya ada pergeseran dari dalam yang tidak di sadari. Banten adalah sebuah etnisitas di mana penulis di lahirkan. Agama yang di anut sebagian besar orang Banten adalah Agama Islam.

Sebagai feminisme muslimah, pada awalnya ia sangat terinspirasi oleh neneknya sendiri, H. Masyitoh yang ternyata neneknya adalah seorang yang di sebut sebagai "indigenous feminist" yaitu sebuah feminis yang tumbuh dari masyarakat lokal berdasarkan dari interaksi sehari-hari tanpa mengenal, mengetahui, dan menyadari serta menyebut dirinya sebagai feminism. Neneknya adalah seorang wanita yang teguh pendirian, berani, seseorang yang berdaulat atas dirinya sendiri. Sepanjang perjalanan hidupnya ia mencerminkan nilai-nilai feminis seperti kemandirian, dan kemerdekaan atas dirinya sendiri. Neneknya tidak pernah takut untuk mengemukakan pendapatnya terhadap para pemuka agama laki-laki. Kemudian warga menghormatinya karena adanya sebuah kharisma dan wibawa di dalam dirinya.

Kemudian ia di kenal sebagai feminisme yang mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi yang kemudian ia mulai bergabung dengan orang-orang cerdas, kritis, serta orang-orang yang berani mengemukakan atau mengungkapkan pendapatnya sekaligus mendiskusikan berbagai macam masalah-masalah seorang perempuan. Pada diskusi tersebut kemudian ia mengaitkan dengan membahas agama-agama lain yang di mulai ketika ia berkuliah di IAIN. Ia mulai menyadari bahwa di setiap agama manapun selalu mengajarkan kebaikan dan keindahan di dalamnya. Pemahaman ia kemudian tumbuh dan makin berkembang ketika ia di undang ke berbagai acara di berbagai belahan negara lainnya. Kunjungan ke negara-negara tersebut memberikan pemahaman baru untuk dirinya. Seperti misalnya saat kunjuungan ke Amerika, di sana ia mengetahui bahwa di negara tersebut memberikan kebebasan bagi warga negaranya untuk memeluk agama maupun yang tidak beragama.

Kemudian ia bekerja pada LSM yang memiliki jaringan dasar pesantren. Dalam perjalananan hidupnya ia banyak mengalami pertentangan, salah satunya dengan seorang peneliti senior yang menganggapnya seorang ahli agama yang menganggap bahwa apa yang di wacanakan bertentangan dengan Islam dan cenderung kebarat-baratan. Pertentangan lainnya adalah adanya pihak yang tidak menginginkan ia untuk berbicara tentang perempuan dalam prespektif Islam.

Sebenarnya banyak hal menarik yang ia sampaikan (Neng Dara Afifah) dalam buku ini. Ia menghantarkan kita untuk lebih dalam memahami identitas kita sebagai anak bangsa. Pada awalnya ia tergabung pada negeri ini dengan kepemimpinan rezim otoriter Soeharto, ia tidak mempercayai penguasa. Hingga kemudian seiring berkembangnya dirinys ia mulai berpartisipasi dalam gerakan reformasi khususnya dalm memperjuangkan hak-hak para perempuan.  Dan keikut sertaannya dalam gerakan kebebasan pers, serta dalam penundaan pengesahan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun