Mohon tunggu...
Rut sw
Rut sw Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga, Penulis, Pengamat Sosial Budaya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Berusaha melejitkan potensi dan minat menulis untuk meraih pahala jariyah dan mengubah dunia dengan aksara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bicara Kebebasan yang Tak Bebas Bicara

30 September 2020   08:59 Diperbarui: 30 September 2020   09:14 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : Microfon (istokfoto)

Polisi membubarkan kegiatan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di beberapa tempat di kota Surabaya, Senin, 28 September 2020 dengan alasan tak mengantongi izin keramaian. Juga karena pertimbangan bahwa kegiatan ini dilakukan di masa pandemi, dimana keselamatan rakyat atau masyarakat lebih utama. Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Trunojoyo Wisnu Andiko membenarkan jika pihaknya membubarkan kegiatan yang berlangsung di beberapa tempat di Surabaya seperti di gedung Juang 45, di gedung Museum Nahdlatul Ulama (NU) dan di Gedung Jabal Noer. Menurutnya tindakan ini sesuai dengan aturan pemerintah nomor 60 tahun 2017 pada pasal 5 dan pasal 6 bahwa kegiatan harus ada ijin yang dikeluarkan pihak berwenang (Suara.com,29/09/2020).

Pembubaran acara yang bertajuk silahturahmi dan Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang menghadirkan Panglima TNI Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo ini  akhirnya memunculkan beragam pendapat di masyarakat. 

Beberapa pihak membenarkan tindakan aparat sementara yang lain menganggap ini ada upaya memberangus kebebasan berkumpul dan berbicara yang dilindungi oleh Undang-undang.

Anehnya pembubaran oleh polisi hanya pada KAMI sementara ratusan massa yang juga berkerumun seperti Aliansi Pemuda Surabaya, Koalisi Indonesia Tetap Aman (KITA) dan Maluku 1 Rasa (M1R), Forum Komunikasi Kiai Kampung Indonesia (FK3I) dan Masyarakat Melek Politik Surabaya tidak dibubarkan, padhal sama-sama beresiko menciptakan kluster Covid-19 baru karena berkerumun.

Pakar Hukum dan Tata Negara Refly Harun menilai aksi KAMI merupakan bagian dari kebebasan berkumpul "Setiap manusia, setiap warga, berhak mengeluarkan pendapat. Baik secara lisan maupun tulisan. Berhak pula berkumpul. Jadi KAMI adalah bagian dari kebebasan berkumpul,"ujarnya seperti dikutip Suara.com,29 September 2020. 

"Bahkan kalua dikaitkan dengan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, itu adalah HAM yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun,"sambungnya. Dia juga menyayangkan pihak keamanan yang membubarkan  secara paksa aksi KAMI. Sebab, menurutnya petugas harus netral dan harus paham bahwa menyatakan pendapat dilindungi konstitusi.

Banyak pula pihak yang mengatakan KAMI hanyalah mencari panggung untuk melampiaskan syahwat politiknya. Bukankah itu tak salah? Kegiatan berpolitik diantaranya berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat dilindungi Undang-undang. Bahkan semestinya penguasa dan siapapun pihak yang tak menghendaki acara tersebut digelar memberikan panggung yang sebenarnya, sebab jika jiwa berpolitik dari masyarakat sudah mati maka negara akan hancur. Ketidak adilan akan merajalela sebab aka nada pihak yang tak mendapatkan haknya.

Dalam Islam politik (siyasa) adalah satu amal yang berisi pengurusan urusan umat, bisa urusan apa saja, bahkan boleh dikatakan segala urusan yang berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam hal ini sebetulnya politik mengurusi urusan umat ini ada dipundak negara namun rakyat berhak juga melakukannya, disisi mana? Muhasabah tentunya. Mengoreksi dan mengingatkan jika penguasa melenceng dalam melaksakan kebijakannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw "Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim." (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Sebab jika penguasa lalai atau bahkan zalim maka yang menjadi korban adalah seluruh rakyat.

Para Khalifah sesudah Rasulullah juga pernah mencontohkan bagaimana lapang dadanya mereka menghadapi kritik dari rakyatnya walaupun hanya satu orang. Suatu hari  Umar bin Khatab naik ke atas mimbar lalu berpidato di depan masyarakat. "Wahai orang-orang, jangan kalian banyak-banyak dalam memberikan mas kawin kepada istri. Karena mahar Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya sebesar 400 dirham atau di bawah itu. Seandainya memperbanyak mahar bernilai takwa di sisi Allah dan mulia, jangan melampaui mereka. Aku tak pernah melihat ada lelaki yang menyerahkan mahar melebihi 400 dirham."

 Dalam riwayat lain, Umar mengancam akan memangkas setiap kelebihan dari mahar itu dan memasukkannya ke baitul mal. Seorang perempuan Quraisy berdiri lalu melontarkan protes ketika  Umar turun dari podium. "Hai Amirul Mu'minin, kau melarang orang-orang memberikan mahar kepada istri-istri mereka lebih dari 400 dirham?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun