Juru bicara kepresidenan Fadjroel Rachman mengatakan, penyelenggaraan Pilkada di tengah Pandemi dapat dijalankan seperti di beberapa negara lain. Ada beberapa negara yang tetap menggelar pemilihan umum. Tentu diiringi dengan protokol yang ketat.
"Pilkada di masa pandemi bukan mustahil. Negara-negara lain seperti Singapura, Jerman, Perancis, dan Korea Selatan juga menggelar Pemilihan Umum di masa pandemi. Tentu dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat," beber dia (CNN Indonesia, 21/09/2020)
Maka sepertinya PBNU, Muhammadiyah yang meminta  pemerintah tunda pilkada harus menelan kecewa, sebab  pilkada tidak bisa ditunda hingga pandemi berakhir. Sebab, pemerintah tidak bisa memastikan kapan pandemi Covid selesai di Indonesia dan dunia.
Maka tahapan pilkada harus diiringi dengan disiplin protokol kesehatan yang ketat. Penyelenggaraannya juga perlu disertai dengan penegakkan hukum dan sanksi tegas. Agar tidak terjadi klaster baru Pilkada.
Sebaliknya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan  untuk menunda seluruh pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa (pilkades). "Pilkades ini ditunda semua, ada 3.000. Pilkades kita tunda karena tidak bisa kita kontrol. Itu kan yang melaksanakannya panitianya adalah bupati," ujar Tito dalam webinar, Minggu (20/9).
Menurut Tito hal ini sudah disampaikan melalui Surat Edaran yang diterbitkannya. Dia mengatakan, pilkades ini akan ditunda hingga Pemilihan kepala daerah (Pilkada) selesai diselenggarakan. Menurutnya pemerintah perlu melihat seperti apa penyelenggaraan pilkada lebih dulu.
Dan baik penundaan pilkades maupun tetap berjalannya pilkada, menurut Tito akan ada regulasi yang tengah disiapkan. Pertama adalah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dan yang kedua adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang direvisi dan disetujui oleh komisi II DPR
Pilkada yang akan dilaksanakan tahun ini, menurut Tito harus bisa menjadi momentum emas agar setiap daerah bisa menangani Covid-19 dengan lebih baik. Â Maka masyarakat harus didorong untuk memilih pemimpin yang bisa menangani pandemi Covid-19 dan dampak sosial ekonominya, dan kampanye yang dilaksanakan berkaitan dengan penanganan Covid-19 seperti pembagian sabun, masker, hand sanitizer dan lainnya (Tribunnews.com, 21/09/2020).
Lihatlah betapa ngototnya pemerintah, bahkan kenekatannya akan dibackup oleh peraturan perundang-undangan. Dan semua ini adalah demi hak konstitusi, benarkah? Mengapa yang terlihat justru pemerintah bak seorang jagal yang ngotot hendak menyembelih sapi meskipun sapi itu sakit dan tak berdaya. Bukannya menyembuhkan terlebih dahulu namun justru sibuk membuat aturan agar perbuatannya legal.
Apakah bisa jadi jaminan bahwa setelah Pilkada akan muncul pemimpin yang siap menangani Covid-19 dengan lebih baik? Dari mana prediksi itu, sebab lagi-lagi, pemimpin daerah tak akan pernah bisa menentukan keputusannya sendiri tanpa persetujuan pemerintah pusat. Kita bisa lihat buktinya hari ini.
Kita tahu, setiap pemilihan pemimpin ala demokrasi tak pernah sedikit biayanya. Sudah jadi rahasia umum, sejak dari pencalonan hingga pengambilan suara butuh biaya yang fantastis. Bukan ratusan juta saja bahkan hingga milyaran.