Dengan makin banyaknya korban covid-19, Pilkada serentak diundurkan 9 Desember 2020.  Usulan ini makin kuat menjadi pertimbangan anggota DPR,  apalagi ketua, anggota KPU dan 21 pegawai positif terpapar. Sebelumnya pun sudah ada  60 calon kepala daerah yang positif.Â
Ada kekhawatiran apabila dilanjutkan akan memicu kluster penyebaran baru yang lebih parah lagi.Namun, masih ada bakal calon  pilkada yang tak terima dan memberi usul agar tetap dilanjutkan, seperti bakal calon wali kota Tangerang Selatan yang juga putri Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah.  Ia mengatakan tak ada jaminan bahwa pilkada bebas dari pelanggaran protokol Covid-19 jika diundur beberapa bulan. Dia yakin pasti akan ada pihak yang tetap melanggar (CNN Indonesia, 19/09/2020).
Azizah juga mempermasalahkan wacana kampanye hanya boleh secara virtual. Menurutnya, kampanye tatap muka dengan menemui konstituen masih menjadi cara terbaik untuk mensosialisasikan diri dan janji-janji.
Sikap yang sama juga ditunjukkan  oleh calon wakil wali kota Tangerang Selatan,  Rahayu Saraswati Djojohadikusumo atau Sara menyatakan meskipun jika bicara kerugian kita ada itungannya, tapi ia sekaligus legawa jika pilkada harus ditunda. Ponakan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto itu menegaskan keselamatan masyarakat hal yang utama.
Pada masa pendaftaran 4-6 September lalu saja, Bawaslu mencatat 316 bapaslon di 243 daerah melakukan pelanggaran. Hingga mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay meminta pilkada ditunda ke 2021. "Baiknya disetop, kemudian dibenahi, baru jalan lagi. Bahwa kita belum siap akhirnya terbukti. Sudah, kita jangan coba-coba nekat," ujar Hadar (CNNIndonesia.com, 10/09/2020)
Merasa rugi jika pilkada ditunda, ada apa? Pilkada periode tahun ini dua puluh lima persen calon kepala daerah  adalah perempuan dan pengajuan  ini mayoritas berasal dari  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ( PDIP). Mungkinkah arus perubahan begitu kuat dan kejenuhan terhadap sosok pemimpin pria menjadikan pilkada ini wajib dilaksanakan dengan merefresh dengan wajah baru, pemimpin perempuan?
Padahal, menurut para calon pemimpin perempuan ini, menjadi kepala daerah perempuan diakui kerap dihadapkan dengan tantangan pelik, terlebih ketika mereka bukan kader partai. Bupati Jember, dr. Hj. Faida, MMR , bupati pertama perempuan di Jember, dalam sebuah diskusi bertema "Perempuan sebagai Kepala Daerah: Pola Kepemimpinan dan Kebijakan", mengatakan bahwa pemimpin perempuan kerap dianggap remeh bila belum tampak hasil kerjanya, juga mendapatkan pelecehan verbal oleh anggota dewan.
Mereka juga sulit mendapatkan rekomendasi dari partai politik, karena banyak tokoh yang tak menginginkan adanya pemimpin perempuan. Namun faktanya, saat ini banyak perempuan menjadi calon kepala daerah. Artinya, jika pilkada tetap ingin dilaksanakan ditengah pandemi meskipun hari ini sudah diundur, bukan karena semata merefresh kebutuhan pemimpin yang handal.
Namun lebih kearah teknis yang lain. Sudah menjadi rahasia umum jika pemilihan kepala apapun  akan keluar biaya banyak. Birokrasi pemilihan pemimpin di Indonesia lebih ruwet daripada di negara terbesar penganut demokrasi itu sendiri, Amerika. Ini makin membuktikan bahwa pilkada tak sekedar tentang pemilihan kepala daerah.
Ada kerjasama dengan pengusaha sebagai pemodal yang harus segera dibayar. Jika pengusaha membayar dengan uang , fasilitas, koneksi dan opportunity ( peluang) maka penguasa yang hari ini masih menjadi calon ketika terpilih nanti akan menggantinya  dengan kebijakan, hak kepemilikan, hingga hak eksploasi SDA.  Mahfud MD secara gamblang mengatakan 69 persen pilkada di Indonesia dibiayai oleh para cukong, alias pengusaha tajir melintir. Jelas, pilkada adalah modal balik modal.