Mohon tunggu...
RuRy
RuRy Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lahir di Demak Jawa Tengah

Orang biasa dari desa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Eksistensi Tanah Air Masih Berdiri Kokoh di Desa

11 Maret 2017   21:08 Diperbarui: 1 Februari 2018   16:08 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pixoto.com

Kalau orang desa ditanya tentang arti nasionalisme, pasti mereka tidak akan berkomentar. Tapi kalau ada apa-apa dengan negeri ini, seperti yang pernah terjadi beberapa tahun lalu, begitu terdengar kabar bahwa negeri tetangga mengklaim bahwa batik, kuda lumping, reog dan beberapa pulau perbatasan, adalah miliknya. Sontak masyarakat langsung menunjukkan reaksi yang luar biasa. Rasa nasionalisme telah merasuk menggelora memenuhi sanubari mereka, merekalah yang pertama kali yang pasang badan angkat senjata membela negeri tercinta.

Sebuah isyarat bahwa rakyat Indonesia masih memiliki "rasa" nasionalisme yang nyata, bukan sekedar ilmu maupun teori nasionalisme.

Di desa orang-orang membicarakan tentang harkat dan martabat bangsa yang tengah dipreteli oleh berbagai kepentingan asing dan kekuasaan. Seakan suasana indonesia pada zaman kemerdekaan begitu terasa di desa. Atmosfer alam di desa membawa hawa sejuk akan kemurnian dan ciri khas negeri ini. Paguyuban dusun, pengajian malam, hingga pentas wayang, seakan menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia masih berdiri tegak. Suatu hal yang sekarang sangat sukar kita temukan di kota-kota besar.

Saya tidak sedang memperbandingkan antara orang desa dan orang kota. Saya juga tidak mencibir orang-orang yang bergaya modern. Sama sekali tidak ada unsur primordialisme dalam lubuk pikiran saya. Tidak semua orang desa benar dan tidak semua orang kota salah, dan sebaliknya.

Kata sosiolog, rasa persaudaraan masyarakat di desa lebih erat dari masyarakat di kota. Orang kota cenderung lebih individual daripada orang desa. Kohesivitas begitu tampak di desa. Persatuan dan kesatuan yang menjadi cita-cita Pancasila tercermin pada masyarakat desa.

Sedangkan para psikolog mengatakan bahwa masyarakat desa cenderung apatis terhadap perubahan. Masyarakat desa lebih tertutup dan kurang menerima adanya perubahan. Mereka cenderung pasrah dengan apa yang dimiliki. Lalu orangbkota mengatakan bahwa itulah yang dinamakan ndeso alias ketinggalan zaman.

Saya rasa pendapat itu sah-sah saja diungkapkan oleh seorang akademisi yang setiap harinya lebih sering tinggal di kota. Namun satu hal, bahwa ndeso atau tidaknya seseorang itu bukan terletak pada penampilan gaya hidupnya, namun bagaimana cara berpikir dan melihat suatu permasalahan dari sisi kontekstualitas masalah yang dihadapi. Kalau ada orang kota yang cara berpikirnya masih linier dan terkotak-kotak, itu baru ndeso namanya.

Setiap kasus yang terjadi, kalau hanya ditinjau dari satu sudut pandang bidang keilmuan, maka jawaban yang diperoleh hanya segelintir saja. Kita harus berparadigma rangkap dalam menemukan yang paling obyektif.

Seorang ulama harus menguasai berbagai bidang ilmu karena ulama adalah lentera masyarakat. Untuk disebut ulama, tidak cukup hanya berbekal ilmu ibadah dan hukum semata. Walaupun tidak harus pandai dalam semua bidang, karena tidak ada manusia yang menjadi ahli dari segala bidang keilmuan. Yang ada adalah manusia yang mampu mengerti, merangkum, dan mengamalkan, berbagai ilmu pengetahuan. Dan kualitas seperti itu lebih sering saya temukan di desa. Jadi sekali lagi, orang desa itu tidak ndeso!

Ahmad Rury

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun