Ada satu hal menarik, ketika publik mempercakapkan film Garin Nugroho, "Kucumbu Tubuh Indahku". Beberapa hal yang patut dipahami sebagai sebuah sikap hipokrit, ketika para pembuat petisi itu itu belum menonton filmnya namun menggugat, dan lewat kanal media sosial gugatan itu pun dimasal kan, tanpa ada sebuah ruang dialog duduk persoalan yang sesungguhnya. Kesimpulan sementara : media sosial itu kejam !
Kenapa film itu kontroversi ? Karena mengangkat isu sensitif seputar isu LGBT ? Cukup gemas, dan mencoba mengambil jarak pada mereka mereka yang memang belum sepenuhnya memahami kreativitas. Begitu menakut-kannya film itu ? Pada jaman milenial ini ? Ketika begitu banyak pilihan bukan hanya satu kuat dan monopolistis ? Sekian lama saya mengerjakan film, saya tidak merasa bahwa film itu cukup efektif untuk melahirkan sebuah revolusi. Apakah dengan menonton "Kucumbu Tubuh Indahku", lalu penontonnya ramai ramai secara massal menjadi kalum LGBT. Picik nian tudingan itu.Â
Tahun 2006, saya mengerjakan film dengan teman waria. Judulnya "Renita Renita". Hingga saat ini film itu menjadi sebuah karya kajian gender di beberapa kampus untuk mahasiswa psikologis yang mengambil mata kuliah gender. Film itu sudah lama saya kerjakan dan menang di beberapa festival film internasional. Namun, saking seringnya diputar, hingga saat ini telah 13 tahun lebih tak ada gugatan bahwa para penonton film saya itu berubah menjadi waria. Tidak ada kata "berubah !" seperti halnya sosok hero Power Rangers manakala menghadapi musuh nya.Â
Bisa jadi, hanya mereka yang mempunyai cara pandang paranoid, yang punya definisi bahwa film itu seperti sebuah permaianan sulap, ketika melihat, kita ter ilusi dan akhirnya berubah. Jika ada amsal seperti ini, bisa jadi banyak kalangan berharap dibuatkan film tentang para milyuner, agar selepas menoton, kel luar dari pintu bioskop mereka jadi kaya semuanya. LGBT bukan "penyakit" menular. Yang lebih aneh lagi, 13 tahun film itu telah diputar tetap saja isunya tidak berubah, bahwa pandangan yang semakin dangkal itu menyembul.
Sim sala bim ! Abrakadabra. .... Saya tetap memilih membuat film dengan tema minoritas.
(Tonny Trimarsanto, sutradara di rumahdokumenter.com)