Banyak pernak-pernik yang dijual ketika kami memasuki wilayah cagar budaya ini.
Cagar budaya Cangkuang ini terletak di sebuah pulau kecil yang berupa daratan di tengah situ kecil. Situ: danau. Oleh karenanya bagi Anda yang ingin mencapai cagar budaya ini maka Anda harus naik rakit.
Selain candi, di Kampung Pulo yang dikelilingi situ ini, juga terdapat pemukiman adat Kampung Pulo, yang juga menjadi bagian dari area cagar budaya.
Selain daratan yang ada candinya, di situ ini juga ada dua pulau lainnya yang lebih kecil.
Volderman dalam bukunya Notulen Bataviaasch Genotschaap yang terbit tahun 1893 menyebut-nyebut di bukit Kampung Pulo, Leles, ada arca yang rusak dan sebuah makam di dekatnya.
Berdasarkan buku itu, peneliti Uka Tjandrasasmita dan Harsoyo, pada tahun 1966 memang terbukti menemukan arca Hindu Syiwa dan sebuah makam di dekatnya. Itulah makam leluhur Kampung Pulo, Arief Muhammad.
Dari penemuan arca Syiwa dan bentuk candi, hampir dapat dipastikan ini adalah candi peninggalan agama Hindu, kira-kira pada abad ke 8 Masehi.
Perjalanan dari Bandung dan tiba di Garut pada menjelang malam, menyebabkan kami harus menginap dulu di sebuah penginapan di tengah kota Garut. Kunjungan yang direncanakan untuk melihat Candi Cangkuang dilaksanakan pada keesokan harinya, berangkat dari penginapan sekitar pukul 09.00 WIB.
Sayang sekali, saya tidak sempat untuk memotret candi atau alam di sekitarnya. Namun teman-teman mengabadikannya dengan kamera yang mereka bawa.
Agar berkesan, selain membeli oleh-oleh dodol, kami juga membeli pernak-pernik yang tersedia di sekitar lokasi wisata.
Sesudah selesai berkunjung ke Candi Cangkuang, kami melanjutkan perjalanan dengan minibus sewaan menuju ke Cirebon untuk berwisata sejarah ke Kesultanan Cirebon.