Menurut Cecilia, sikap kritis dapat terus dikembangkan dan diasah dengan pola asuh yang terbuka dan tidak otoriter.
"Beri kesempatan pada anak untuk mengeksplorasi lingkungannya. Balita, misalnya, akan terus melontarkan pertanyaan apa, siapa, kenapa. Manfaatkan ini untuk melatih kemampuan berpikir kritis pada anak," ujar Cecilia.
Sementara itu, Nadya mencatat pentingnya mengembangkan daya observasi anak. Contohnya, melalui pengamatan, kita bisa memberi stimulus tentang bentuk, memahami tentang benda dan rasa, dan membedakan pasir, tanah, dan air.
Atau, minta anak melihat apa yang salah dari sebuah gambar. Anda juga bisa mengajak anak melakukan pengandaian dengan minta mereka membayangkan sesuatu. Misalnya, jika mati lampu, apa yang akan terjadi?
Nadya juga menyarankan untuk melatih anak mencari alternatif dalam melakukan sesuatu. Misal, minta anak mencari cara lain untuk memindahkan air selain dengan gayung. Mulailah dari hal yang sederhana sampai yang lebih kompleks, sesuai tingkat perkembangan dan usia anak.
Nadya menyayangkan masih banyak orangtua dan pendidik yang kurang mampu mendorong anak untuk kritis.
"Ada kecenderungan untuk tidak mau ribet, sehingga kita lebih banyak memberikan jawaban tunggal yang benar dan dengan cara imitatif, ketimbang mendorong anak-anak untuk mengembangkan pemikirannya," tandas Nadya.
Mengapa? Masyarakat konvensional masih memandang sikap kritis sebagai bagian dari unsur kurang santun. Sebaliknya, standar karakteristik positif pada budaya konvensional adalah sikap yang menghormati, menurut, dan berbesar hati.
Masalahnya, perkembangan saat ini, peningkatan kualitas pola pikir, dan pendidikan menjadikan berpikir kritis suatu kemampuan yang harus dimiliki oleh generasi yang ingin membawa perubahan.
Nadya menilai, masyarakat saat ini sudah memahami kebutuhan berpikir kritis untuk dapat membawa perubahan dan penyesuaian dengan perkembangan globalisasi.
"Media sosial menjadi salah satu gambaran bagaimana masyarakat dari berbagai lapisan kini 'dekat' dengan kemampuan berpikir kritis. Saya katakan 'dekat' karena masih banyak yang mudah termakan hoaks," tukas Nadya.