Scott Kelly adalah astronot NASA pertama yang hidup selama setahun di International Space Station. Ia paham rasanya jauh dari permukaan Bumi, tak dapat bertemu keluarga, atau mencicip nikmatnya makanan segar. Simak wawancara menarik dengan sang astronot.
Tanya (T): Anak-anak, baik lelaki maupun perempuan, sering berujar ingin menjadi astronot setelah mereka besar nanti. Sekilas, latar belakang Anda tampaknya tidak mendukung karier saat ini - rapor yang jelek di sekolah, ayah pelaku KDRT, dan lingkungan tempat tinggal yang didominasi pekerja buruh. Apa yang membuat Anda sukses?
Jawab (J): Memang tampak mustahil jika dipikir-pikir. Jika Anda bertanya pada guru-guru saya di sekolah dulu, apakah saya bisa menjadi astronot, mereka pasti akan tertawa. Apalagi, waktu kecil, saya memiliki Attention Deficit Disorder (ADD).
Saat memasuki bangku kuliah, masih dengan prestasi akademik yang pas-pasan, tanpa sengaja saya masuk sebuah toko buku dan melihat buku berjudul The Right Stuff. Entah mengapa, saya merasakan sebuah koneksi dengan isi buku itu, dan dari sana saya mulai merancang rencana hidup saya.
Buku tersebut menjadi dorongan yang saya butuhkan untuk bergerak ke arah yang positif. Memang tidak mudah, terutama pada awalnya, saat saya harus melatih diri untuk belajar dan menjadi mahasiswa yang baik.
Seiring berjalannya waktu, saya bisa mengatasi gangguan konsentrasi yang saya alami. Jika dipikir-pikir, ini sungguh lompatan yang sangat besar. Seorang pemuda membaca sebuah buku, kemudian memutuskan untuk menjadi astronot. Kenyataannya, "lompatan" itu diisi dengan langkah-langkah kecil yang positif, sebuah determinasi yang kemudian menjadi lompatan raksasa.
T: Ada satu momen menakjubkan yang Anda ceritakan di dalam buku yang Anda tulis, Endurance, yakni ketika Anda kehilangan orientasi dalam kegelapan saat tengah bermanuver di luar angkasa. Seperti apa rasanya?
J: Hari itu adalah kali kedua saya berjalan di luar angkasa. Waktu itu, pekerjaan terasa sangat panjang dan melelahkan, dan di penghujung hari kami hendak kembali ke dalam kabin hampa udara ketika petugas pengendali lapangan meminta saya untuk memeriksa sebuah katup. Meski lelah, saya menyanggupinya. Di luar angkasa, kita tidak bisa menduga apa yang dapat terjadi, sehingga setiap potensi risiko harus langsung ditangani.
Saya mulai bergerak menuju area yang dimaksud, di balik sebuah tiang penunjang. Saya sebenarnya kurang familiar dengan area tersebut, sehingga di satu momen saya benar-benar merasa ditelan oleh angkasa luar dan mengalami disorientasi. Bahkan, tubuh saya melayang-layang sampai terbalik.
Butuh beberapa saat sebelum menyadari lokasi saya. Memang, saya tidak sampai 100 persen lenyap dan tidak bisa kembali. Saya pun tidak merasa seperti sedang berada dalam bahaya ketika itu, hanya saja memang perasaan tidak enak.
Kemudian saya merasakan secercah cahaya di atas kepala. Ternyata cahaya itu berasal dari Bumi. Ketika mendongak, saya menyadari sedang melayang-layang di atas Timur Tengah. Saya bisa melihat Semenanjung Arab, yang memang tampak menonjol dari luar angkasa, bahkan saat malam hari.