Mohon tunggu...
Rudy Wiryadi
Rudy Wiryadi Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

pelangidipagihari.blogspot.com seindahcahayarembulan.blogspot.com sinarigelap.blogspot.com eaglebirds.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Mengatasi Tantrum Anak

23 Juli 2017   09:09 Diperbarui: 24 Juli 2017   13:55 6485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (mychild.at)

Menangis, berteriak, memaki, melempar barang, sampai berguling-guling di lantai. Itulah tantrum, reaksi negatif si kecil saat keinginannya tidak terpenuhi dan kenyamanannya terganggu. Apa yang harus dilakukan orangtua untuk mengatasinya? Sejumlah pakar memberi saran.

Sungguh menguji kesabaran ketika si kecil marah dan bereaksi negatif terhadap sesuatu, apalagi bila dilakukan di tempat umum. Tantrum, begitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan emosi negatif anak-anak atas perasaan tidak nyaman yang dialaminya.

Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog,dari Klinik Psikologi Pelangi, Kota Wisata Cibubur, menyebutkan bahwa tantrum merupakan respons perilaku marah yang meledak-ledak, muncul dengan mudah, memiliki intensitas reaksi sangat kuat, dan sulit dikontrol, baik oleh orangtua maupun anak.

Bentuk tantrum yang paling umum biasanya berteriak, memaki, memecahkan atau melempar barang, dan berguling-guling - kadang disertai memukul atau menendang orang lain. Pada balita, tantrum mungkin disertai muntah, mengompol, atau bahkan menahan nafas hingga wajah membiru.

"Bentuk ekspresi marah ini lazim ditunjukkan anak usia 2-4 tahun. Inilah fase negativistik dan berusaha mandiri dari anak, sehingga sering kali menunjukkan sikap perlawanan terhadap orangtuanya," ujar Rendra.

Menurut Rendra, kemarahan ini muncul saat anak merasa frustasi, "diserang", atau keinginannya tidak terpenuhi. Sayangnya ia belum memahami cara yang lebih adaptif dalam mengungkapkan emosinya secara verbal sehingga diekspresikan lewat perbuatan. Anak belum mampu mempersepsikan kondisi frustasinya karena tidak memahami apa yang sedang dialami.

"Terlebih bila orangtua mereka sendiri terbiasa menyelesaikan masalah dengan cara berteriak, melempar atau merusak barang, atau kegiatan fisik lain," imbuhnya lagi.

"Tantrum sesungguhnya normal, namun tugas orangtua adalah untuk mengendalikan tantrum anak sedini mungkin," ungkap Elizabeth Santosa, M.Psi., psikolog anak dari Yayasan Praktek Psikologi Jakarta.

"Sebenarnya tantrum adalah hal yang sangat manusiawi. Pada saat manusia atau makhluk hidup tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, ia pasti bereaksi negatif," ujar Elizabeth.

Terlebih pada anak-anak. Menurut Elizabeth, pada anak, sistem konteks prefrontal yang berfungsi mengontrol emosi dan membedakan mana yang baik mana yang salah belum berkembang sempurna. Jadi, ketika keinginannya tidak tercapai atau rasa nyamannya terusik, anak tak tahu harus melakukan apa. Yang bisa anak lakukan adalah dengan tantrum.

"Perilaku tantrum baru dianggap sebagai masalah ketika hal tersebut menjadi strategi utama anak saat keinginannya tidak dituruti atau saat ia berbeda pendapat dengan orang lain. Untuk mengatasinya, gunakan metode modifikasi perilaku dengan mengurangi perilaku yang menggangu atau tidak diinginkan," saran Rendra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun