Mohon tunggu...
rudolf dayu
rudolf dayu Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Pemimpi

seorang pemimpi yang berusaha menerjemahkan hidup.... kemudian membahasakannya pada semua orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Barista

28 Januari 2018   19:47 Diperbarui: 28 Januari 2018   21:21 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BARISTA

(BAgaimana menggaRIS cinTA)

Seakan sudah menjadi sebuah ritual ketika diri ini dipenuhi dengan pergumulan tentang hidup, maka langkah kaki  dengan sendirinya tanpa sebuah koordinasi yang berbelit dengan otak membawaku pada rumah kopi ini. Kenapa kopi? Apakah pahitnya kopi dapat mengikat pahitnya rasa jenuh ini dan melarutkannya dalam gelapnya kopi, kemudian ketika kuteguk semua pahit itu sirna yang hanya meninggalkan ampas dan siap kutinggalkan? Ah entahlah...kurasa bukan jawabannya.

Kenapa harus di rumah kopi ini? Di rumah kopi ini, aku di bangku dekat jendela kaca. Sebuah sensasi yang sangat kunikmati dengan duduk di situ. Sebuah sensasi di mana aku merasa bisa menikmati realitas hidup tanpa kuterlibat di dalamnya seperti melihat dunia laut di Sea World , merasa dekat sekali dengan binatang-binatang laut namun terpisah. Mungkin kita juga sesekali perlu memisahkan diri dari kehidupan kita hanya supaya bisa sejenak melihat dengan keluasan tentang hidup ini. Selain itu walaupun duduk sendirian di rumah kopi ini tapi tidak pernah benar-benar aku merasa sendiri. Karena lagu folk yang senantiasa diputar seakan mengajakku masuk untuk berdialog dalam nada-nada sederhananya, alat musik analog yang menjadi kekhasannya mengajakku untuk jujur dengan diri ini kemudian sepakat bercerita bersama lirik puitis di dalamnya, tanpa merasa dibatasi oleh pakem-pakem yang ada, justru kesederhanaan nada-nadanya itu seperti lautan tenang yang memungkinkan diri ini untuk berenang bebas ke manapun...apakah kita pernah berenang dan menemukan batas pada laut? Single Origin kopi Arabica Gayo menjadi pilihan sore ini. Kurasa pahit dan harum kopi Arabica gayo akan mampu meramu apa yang sedang kurasa dan menjadikannya sebagai pahit yang nyaman untuk dinikmati. Sebuah pahit yang tak membuat ku harus lari dari rasa pahit itu sendiri. Itulah keajaiban kopi, entah apakah aku yang dapat menyesuaikan diri dengan pahitnya atau pahit itu yang mereduksi rasanya agar bisa kunikmati. Jadi kenapa langkah kaki menghantarku ke sini tak perlu kubuka ruang dialog untuk hal ini. Kopi yang menerima pahit diriku, jendela kaca yang sejenak memisahkanku dari pahit dan musik folk yang mengajakku mengurai pahitku, kurasa menjadi jawaban dari pertanyaan kenapa harus rumah kopi ini.

Walau rumah kopi ini menyediakan ruang imaji untuk diriku berbicara dengan diri sendiri namun godaan untuk menoleh ke meja-meja ke sekitar rasanya tak bisa kuelakkan. Tiap meja menyediakan sajian kisah perbincangan yang berbeda-beda. Hal ini mungkin yang membuat rumah kopi walau dalam keseragaman aktivitas yakni mengobrol namun kaya dan berwarna akan kisah yang dikepulkan bersama asap rokok di mana-mana. Telinga ini perlahan menjadi begitu peka. Kisah-kisah di tiap meja yang awalnya hanya terdengar sayup-sayup seperti dengungan serangga lama kelamaan mulai terdengar jelas. Ada yang bercerita tentang dirinya dan pacarnya, ada yang tentang dirinya dan hobinya, dirinya dan bisnisnya, dirinya... dirinya... dan dirinya. Hei... tunggu... aku baru tersadar hampir semua orang berbicara tentang dirinya, apakah tentang dirinya yang hebat, dirinya yang galau, dirinya yang berjuang. Satu yang pasti semua bicara tentang dirinya sendiri. Pembicaraan tentang diri sendiri itu seperti undangan agar orang mengakui kehebatan diri kita, merasakan kepedihan kita, mendukung perjuangan kita. Seakan dunia ditarik masuk ke dalam diri. Aku mulai merasa terusik dengan realitas ini. Bukan aku tak suka tentang realitas ini, tapi seakan ada bagian dari diriku yang merasa disinggung.

Aku mulai masuk ke dalam diriku lagi. Aku menggumuli lagi apa yang kuresahkan hingga ku sampai di rumah kopi ini. Bukankah aku mirip dengan mereka yang membicarakan tentang diri sendiri. Aku ke rumah kopi ini setelah orang tuaku menolak memberiku dukungan kepadaku untuk berhenti dari kuliah dan mencoba menafkahi hidupku dengan mulai menggagas usaha kecil-kecilan. Gambaran seorang muda yang mampu menafkahi  dirinya, seorang muda yang mengatur sendiri hidupnya, seorang muda yang traveling kemana-mana dengan uangnya sendiri itulah yang ada di kepalaku. Aku ingin seperti itu. Kenapa susah sekali orang tua mengerti niatku ini. Apakah mereka tak ingin aku bahagia? Apakah mereka tidak ingin aku senang? Hidup yang tidak didukung kurasakan sebagai sebuah kepahitan. Semakin aku masuk dalam pergumulan ini semakin kumerasakan sebuah sensasi yang mengurungku. Hidup mendadak terasa sempit karena seakan dunia ini hanya tentang diri sendiri. Dunia tak lagi luas, karena dunia sebatas tentang diri sendiri. Apakah dunia hanya tentang diri sendiri? Semua berorientasi dan mengarah pada diri. Inilah kenyataannya yakni tiap orang berbicara tentang dirinya

Di tengah beragam pertanyaan yang muncul tiba-tiba pandangan ini seakan tertarik untuk dialihkan pada aktivitas sang barista yang sedang meracik kopi. Merasa berlebihan gak sih? Untuk secangkir kopi sang barista akan menimbang biji kopi yang akan digunakan, menakar air, atau menentukan suhu panas dari kopi. Secangkir kopi yang kecil itu ternyata telah melalui sebuah ritual yang kayaknya tidak sebanding dengan apa yang kemudian dihasilkan. Tapi aku tahu kenapa harus ditimbang kenapa harus ditakar semuanya demi mendapatkan sebuah rasa. Jumlah kopi, takaran air ataupun suhu kopi akan mempengaruhi keasaman, kepahitan juga kekentalan kopi. Semuanya demi secangkir kopi dengan rasa istimewa.

Setelah sang barista menunaikan ritualnya dan kemudian menyajikan hasil racikannya. Aku iseng menghampiri sang barista tanpa basa-basi aku bertanya kepadanya. "kenapa sih nggak dikira-kira saja, kenapa harus ditimbang, ditakar juga dihidangkan pada suhu tertentu itu kopi?" Si Barista hanya tersenyum kecil. Ia pun kemudian berkata, "Dengan mengukur kita bisa tahu tentang kopi kita, jika kopi itu belum istimewa maka akan sangat mudah untuk dievaluasi karena kita punya tolak ukurnya. Jika kopi itu sudah istimewa maka kita telah mempunyai formula yang bisa kita gunakan lagi untuk melahirkan kopi yang istimewa." Mendengar penjelasan itu, aku belum bisa mengerti karenanya aku bertanya lagi, "kenapa harus rumit seperti itu, rumah kopi kan sebuah bisnis kenapa memilih sesuatu yang tidak efektif seperti itu?" Lagi-lagi ditanggapi dengan senyum oleh sang barista, kemudian ia menjawab "memang ini sebuah bisnis, tetapi bukan berarti pekerjaan yang kita lakukan semata-mata demi sebuah keuntungan. 

Kenapa saya mau bekerja di rumah kopi ini karena visi mereka sama dengan visi saya, bahwa keuntungan bukan yang pertama kami cari. Kepuasan kami tidak semata karena keuntungan yang kami peroleh dari menjual kopi. Kepuasan kami adalah ketika mampu membuat penikmat kopi kami menjadi lebih tenang, nyaman ataupun lega. Pejaman mata dan senyuman kecil setelah menyeruput kopi kami adalah bayaran yang sangat bernilai. Jadi kepuasan kami terletak pada penikmat kopi kami bukan pada diri kami. Jadi dari sini kami belajar untuk bahagia karena memberi bukannya bahagia karena diberi. 

Entah kenapa dengan begitu saya merasa hidup saya mempunyai arti. Apa yang saya kerjakan bukan lagi semata supaya saya senang tetapi supaya orang lain senang, yah bagi saya ini seperti sebuah upaya menggaris cinta, mewujudkan cinta, menjadikan cinta itu sungguh dialami." Mendengar itu aku tertegun, seakan ada sebuah simpul yang terlepas dalam diriku, ada sebuah kebekuan yang mencair, kegelapan yang tiba-tiba sirna oleh adanya cahaya. Yah aku telah mendapat jawabannya. Aku menatap ke sang barista dan kuucapkan terima kasih. Sang barista kebingungan atas apa yang terjadi padaku. Aku membayar kopiku dan kemudian bergegas pergi pulang ke rumahku di mana ada kedua orang tuaku.

Jadi hidup ini terasa sempit, terasa sesak, terasa mengekang karena kita hanya focus pada diri kita. Dunia yang begitu luas kita Tarik masuk ke dalam diri kita. Dunia adalah diri kita sendiri. Kebahagiaan berbanding lurus dengan kita yang gembira, kita yang senang, kita yang... kita dan kita. Bagaimana kalau kita tidak merasa senang? Bagaimana kalau kita tidak gembira? Apakah kita masih bisa bahagia. Sebaliknya dunia akan menjadi begitu luas, ketika kita mengarahkan hidup kita untuk kepentingan orang lain. Akan ada banyak orang lain yang bisa kita bantu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun