Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merenung Bersama Ebiet G. Ade untuk Bangsa yang Absurd dan Penuh Luka

21 Juni 2025   10:45 Diperbarui: 21 Juni 2025   10:53 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Liputan6.com)

Prolog:

Indonesia hari ini tampak megah di permukaan, tapi di balik gemerlap pembangunan, krisis demi krisis terus merayap diam-diam. Bencana alam datang silih berganti, dari banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, hingga kekeringan ekstrem, semuanya seperti isyarat bahwa kita telah terlalu jauh meninggalkan keseimbangan. Di saat yang sama, krisis moral menjalar: pejabat korup tak lagi malu, keadilan tumpul di hadapan yang kuat, dan masyarakat seolah terbiasa hidup dalam ketimpangan. Di tengah absurditas zaman inilah, lagu “Untuk Kita Renungkan” karya Ebiet G. Ade kembali menyuarakan suara hati yang hampir terlupakan. Lagu ini bukan sekadar nostalgia atau puisi murung, tapi sebuah panggilan untuk menunduk, mengakui kesalahan, dan mulai membersihkan jiwa yang tertutup debu kepalsuan. Ketika politik jadi panggung pencitraan, dan agama hanya dijadikan simbol, Ebiet mengajak kita kembali ke dalam: ke ruang sunyi bernama nurani. Lagu ini tak hanya menyentuh, tapi juga menggugat, karena terlalu banyak dari kita yang bicara soal bangsa, tapi enggan bercermin. Dalam lirik-liriknya, terkandung peringatan yang tak pernah basi: bahwa sebelum kita menyalahkan dunia, kita harus terlebih dahulu beres dengan diri sendiri. Dan jika kita masih mampu merenung, mungkin belum segalanya terlambat.

--------------

Lagu “Untuk Kita Renungkan” karya Ebiet G. Ade bukan hanya tembang kenangan, tapi juga sebuah seruan moral yang mengguncang hati nurani. Dalam lirik pembukanya, “kita mesti telanjang dan benar-benar bersih,” tersirat ajakan untuk melepas segala kepalsuan dan topeng sosial yang kita kenakan. Di tengah derasnya arus kemunafikan dan pencitraan di ruang publik, pesan ini terasa sangat relevan. Masyarakat hari ini cenderung bicara lantang tentang keadilan, namun lupa membersihkan debu dalam dirinya sendiri. Debu itu bisa berupa keserakahan, kebencian, dan rasa puas diri yang menutupi mata hati. Kebersihan lahir batin yang diajarkan Ebiet seolah menjadi barang langka di era digital yang penuh polusi informasi. Orang berlomba jadi suci di media, tapi malas berkaca secara jujur. Lagu ini mengingatkan kita untuk kembali kepada fitrah: menjadi manusia apa adanya. Bukan manusia dengan banyak topeng, tapi yang siap menerima dan memperbaiki diri.

“Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya,” lanjut Ebiet dengan nada pasrah sekaligus menegur. Betapa banyak bencana yang melanda negeri ini: banjir, longsor, gempa, hingga kekeringan yang menggila. Tapi apakah kita benar-benar memaknainya sebagai teguran atau sekadar nasib buruk? Indonesia saat ini tengah berada di persimpangan: antara menyalahkan takdir atau mengakui kesalahan sendiri. Eksploitasi alam yang tak terkendali, penggundulan hutan, dan pembangunan rakus tanpa analisis dampak lingkungan menjadi bencana yang dibuat tangan sendiri. Lagu ini tidak sedang menceramahi, tetapi mengajak kontemplasi. Bahwa di balik badai dan lahar, ada pesan bahwa kita harus berbenah. Kita diajak untuk mengingat bahwa kuasa ada di atas segala kuasa, dan manusia bukan pusat semesta. Maka ketabahan dan kesadaran adalah langkah awal yang harus dipeluk.

Gambaran anak menjerit dan asap panas membakar dalam bait lagu itu, kini bukan sekadar puisi, tapi realitas yang akrab. Lihatlah bencana karhutla di Kalimantan dan Sumatera yang saban tahun mengancam anak-anak menghirup asap pekat. Ketika langit menghitam dan tanah terbakar, nyatalah bahwa kita telah mengabaikan keseimbangan alam. Sayangnya, elite politik dan para pemilik modal seringkali lebih sibuk mencari keuntungan daripada memikirkan masa depan generasi. Lirik ini menampar kesadaran kita: bencana bukan hukuman, tapi isyarat keras untuk kembali menata hidup dan cara pikir. Namun, berapa banyak dari kita yang benar-benar merenung saat bencana datang? Media hanya hiruk-pikuk sejenak, lalu lupa. Sementara korban tetap menanggung derita bertahun-tahun lamanya. Di sinilah refleksi kita diuji: apakah kita masih punya nurani?

Dalam kekalutan, kata Ebiet, “masih banyak tangan yang tega berbuat nista.” Kalimat ini terasa seperti sorotan tajam terhadap para pejabat yang korupsi bahkan di tengah penderitaan rakyat. Ketika bantuan bencana dikorup, ketika tanah ulayat digusur untuk tambang, ketika proyek pembangunan dijadikan ladang cuan, semua itu adalah tangan-tangan nista yang dimaksud. Indonesia saat ini menghadapi krisis moral yang lebih besar daripada krisis ekonomi itu sendiri. Krisis ini menyebar dari atas ke bawah, menjalar dalam bentuk budaya permisif dan kehilangan rasa malu. Ebiet tidak menyebut nama, tapi kita tahu siapa yang ditunjuk oleh nurani. Kita tak bisa terus hidup dalam keadaan seperti ini, pura-pura tak tahu sambil tetap menikmati hasil ketidakadilan. Maka resensinya bukan hanya pada lagunya, tapi juga pada luka-luka yang diungkapkannya. Lagu ini seperti cermin besar yang memperlihatkan wajah kita yang penuh noda

Ebiet tidak lupa menyelipkan harapan dalam nadanya, meski getir. Ia mengingatkan bahwa Tuhan pasti memperhitungkan amal dan dosa yang kita perbuat. Di tengah dunia yang tampak tanpa keadilan, bait ini menjadi pegangan bahwa segala sesuatu tak luput dari pengawasan Yang Maha Kuasa. Ketika hukum tak berpihak, ketika pelaku kejahatan tak tersentuh, kita masih punya harapan pada keadilan Ilahi. Tapi harapan saja tak cukup bila tidak diiringi upaya memperbaiki keadaan. Kita dipanggil untuk menjadi bagian dari perubahan, sekecil apa pun. Jangan tunggu malaikat turun, sebab reformasi hati bisa dimulai dari diri sendiri. Kesadaran ini adalah energi utama untuk melawan sistem yang rusak. Karena pada akhirnya, suara nurani yang jujur adalah alat paling kuat melawan kebusukan zaman.

Pertanyaan “kemanakah lagi kita ‘kan sembunyi?” sungguh menggedor jiwa yang lalai. Dalam era digital, semua orang bisa bersembunyi di balik akun palsu, narasi palsu, dan pencitraan yang indah tapi kosong. Namun dari Tuhan kita tak bisa bersembunyi. Ketika krisis moral melanda para pemimpin, ketika rakyat kehilangan kepercayaan, maka kita sedang menuju titik nadir. Lagu ini mengajak untuk berhenti berlari dan diam untuk mulai merenung dalam-dalam. Apakah kita sedang membangun negeri atau justru menghancurkannya perlahan? Dunia boleh gelap, tapi jangan biarkan cahaya di hati ikut padam. Sebab kembali kepada Tuhan bukan soal agama semata, tapi soal kemanusiaan yang utuh. Saat tak ada lagi tempat berpaling, maka sujud menjadi satu-satunya sikap bermartabat.

“Mari hanya runduk sujud pada-Nya,” ujar Ebiet dengan lirih tapi dalam. Kalimat ini adalah puncak perenungan spiritual yang disodorkan lagu ini. Ketika kita berhenti sombong, berhenti merasa paling tahu, saat itu pulalah kita membuka pintu perubahan. Negeri ini butuh lebih banyak orang yang merunduk daripada yang mendongak dengan angkuh. Karena kerendahan hati adalah awal dari kebijaksanaan. Dalam masyarakat yang gaduh dengan saling cela, mungkin sudah saatnya kita hening sejenak dan bersujud. Bukan sekadar ritual, tapi sikap hidup. Sikap yang menerima kesalahan, dan bertekad tidak mengulangnya. Lagu ini mengajarkan bahwa sujud bisa menjadi jalan pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun