Mohon tunggu...
Rublikpol
Rublikpol Mohon Tunggu... Lembaga Diskusi Kampus

📍 Jakarta, Indonesia | 🎓 Founded at FISIP UIN Syarif Hidayatullah | 🎙️ Voice of Critical Politics Rublikpol (Ruang Publik Politik) is a youth-driven socio-political media organization committed to enriching Indonesia’s public discourse. Founded in 2016 within the Faculty of Social and Political Sciences at UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rublikpol has grown into a vibrant space for critical dialogue, political literacy, and civic engagement. 🎯 Our Mission To ignite critical thinking and foster informed discussions on politics, society, and governance—bridging academia, grassroots perspectives, and youth activism through accessible content and community-driven events. 💡 What We Do 1. Interactive Forums & Events - From our flagship *Publik Berbisik* series (where politics meets music and art) to academic discussions and open forums. 2. Multimedia Content – Thought-provoking podcasts, infographics, and political explainers for digital natives. 3. Grassroots Political Education – Training, workshops, and content aimed at strengthening democratic values among young voters and students. We’re not just talking about politics—we're building a generation that critically engages with it.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Throwback: "Analisis Kritis Terhadap Fenomena Koalisi Besar Pemerintahan Prabowo-Gibran"

28 Juli 2025   15:00 Diperbarui: 28 Juli 2025   15:00 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Najmah Mufida, Nazwa Rahmah dan Nadhilah Fatharani

Penetapan pasangan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden 2024 menghasilkan pola pemerintahan baru dengan Koalisi Indonesia Maju. Pembentukan Koalisi Indonesia Maju Plus mempersempit ruang oposisi dan mengabaikan kebutuhan masyarakat. Kabinet Merah Putih dengan banyak kementerian berpotensi menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan, menciptakan konflik internal serta ketidakpuasan rakyat terhadap representasi mereka.

Koalisi Besar Pemerintahan Prabowo-Gibran 

Pasca kemenangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, terbentuknya koalisi besar menimbulkan gesekan antara pihak pemerintah, media, dan masyarakat. Koalisi ini dianggap sebagai strategi untuk mengukuhkan dominasi di DPR serta memperlemah keberadaan oposisi, sehingga proses pengesahan kebijakan pemerintah dapat berlangsung lebih mudah. Menurut Adi Prayitno, manuver ini dilakukan demi menjaga stabilitas kekuasaan politik, sejalan dengan semboyan Prabowo yang menekankan pentingnya "politik merangkul dan kerja sama. Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) berhasil menguasai sekitar 81% kursi DPR (470 kursi), sedangkan kubu oposisi yang didominasi oleh PDIP hanya memiliki 110 kursi atau sekitar 19%. Dominasi tersebut turut tercermin dari distribusi kursi kementerian, yang memperkuat posisi KIM Plus sebagai poros kekuasaan sesuai dengan konsep koalisi pemerintahan menurut Andrew Heywood.

        KIM Plus terdiri dari partai-partai besar seperti Gerindra, Golkar, PAN, dan Demokrat, serta diperluas dengan kehadiran partai lain seperti NasDem, PKB, PKS, PPP, Perindo, dan lainnya. Tidak adanya batasan hukum mengenai jumlah partai dalam satu koalisi menyebabkan kekuatan politik ini terus membengkak sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintahan. Dari sudut pandang teori, pola KIM Plus selaras dengan A Theory of Coalition in the Triad milik Caplow, yakni skema A > B > C, di mana A dan B bersatu untuk mengalahkan C---dalam hal ini PDIP sebagai oposisi. Dominasi ini juga sejalan dengan teori Minimal Winning Coalition dari Lijphart, meskipun KIM Plus jauh melebihi batas minimum yang diperlukan, karena orientasinya lebih pada perolehan kekuasaan ketimbang kesamaan ideologi.

    Sebagaimana dijelaskan oleh Debus, sebuah koalisi bisa dibentuk berdasarkan motif kekuasaan (office-oriented) atau kebijakan (policy-oriented). Dalam konteks ini, KIM Plus lebih condong pada orientasi kekuasaan, terlihat dari banyaknya partai yang bergabung demi memperoleh posisi strategis ketimbang menyatukan visi kebijakan. Akibat dari situasi ini adalah makin menyempitnya ruang bagi oposisi, yang berpotensi membahayakan prinsip-prinsip demokrasi.

Sirkulasi Elit dalam Koalisi Besar Pemerintahan Prabowo-Gibran 

Elit adalah suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang berada di lapisan tertinggi, memiliki kekuasaan, dan berpengaruh secara tidak proporsional. Sedangkan, Elit Politik adalah suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang memiliki kekuasaan politik untuk memengaruhi kebijakan nasional secara berkelanjutan. Dalam KIM+ pemerintahan Prabowo-Gibran, elit-elit yang berkuasa merupakan elit yang sudah berkuasa dalam kabinet sebelumnya. Dalam analisis studi kasus ini, penulis menggunakan teori formula politik Mosca dan teori sirkulasi elit Pareto. Formula politik menurut Mosca adalah suatu pembenaran bahwa mereka layak memerintah suatu populasi atau semacam kampanye. Formula politik bertujuan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, serta melakukan sirkulasi elit. Formula politik yang digunakan Prabowo dalam pemilu adalah koalisi gemuk, karena formula tersebut sudah terbukti efektif dalam memenanglan pemilihan presiden. Sedangkan dalam pemerintahannya, ia menggunakan koalisi pemerintahan dengan memperkecil ruang oposisi untuk mempermudah jalannya pemerintahan Kabinet Merah Putih (KMP).

Sirkulasi elit menurut Pareto adalah di saat ada elit masuk, ada elit yang keluar. Terdapat 2 sirkulasi elit menurut Pareto, yaitu pergantian elit yang terjadi antara kelompok-kelompok memerintah sendiri dan pergantian elit yang terjadi di antara elit dengan penduduk lain (lapisan terbawah). Pergantian elit tipe yang kedua dapat terjadi karena individu-individu dari lapisan yang berbeda masuk ke dalam kelompok elit yang sudah ada dan individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk ke dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada. Dalam studi kasus koalisi besar pemerintahan Prabowo-Gibran, sirkulasi elit hanya terjadi antara elit sebab mayoritas menteri KMP merupakan menteri bekas kabinet Jokowi. Hal ini patut dipertanyakan sebab kinerja menteri kabinet Jokowi juga tidak terlalu efektif dan bahkan tidak menyelesaikan permasalahan utama di Indonesia.

Intensitas Konflik yang Muncul dalam Fenomena Koalisi Besar Pemerintahan Prabowo-Gibran

Konflik, menurut Ramlan Surbakti, terjadi karena perbedaan kepentingan dan distribusi kekuasaan yang tidak merata. Dalam konteks ini, jenis konflik yang diangkat adalah konflik vertikal, di mana ketegangan muncul antara elite politik yang memegang kekuasaan dan rakyat yang tidak memiliki akses yang selayaknya dalam proses pengambilan keputusan politik. Konflik vertikal ini diakibatkan oleh ketidakseimbangan dalam hubungan kekuasaan, ketika aspirasi masyarakat tidak dapat ditampung oleh sistem demokratik Indonesia. Melalui sudut pandang teori konflik vertikal, fenomena koalisi besar Prabowo-Gibran dapat dilihat sebagai pangkal dari munculnya ketegangan politik. Ketika kekuasaan terpusat dan partisipasi rakyat terbatas, potensi konflik meningkat. Prabowo, dalam hal ini, berupaya menjamin bahwa agenda pemerintah tidak akan mendapat penolakan dari koalisinya di DPR, menciptakan struktur kekuasaan yang terpusat. Dalam situasi ini, kepentingan politik yang beragam justru menjadi sumber ketegangan internal, ditambah lagi dengan pembagian kursi menteri yang melibatkan banyak kepentingan, yang menyebabkan konflik dalam pengalokasian anggaran dan inefisiensi koordinasi antar kementerian.

Ruang oposisi seharusnya memberikan kritik dan kontrol dalam pemerintahan semakin menyempit, dengan hanya PDIP yang tersisa sebagai oposisi, itupun dalam posisi yang lemah. Hal ini berkontribusi pada ketimpangan representasi politik, di mana partai-partai dalam koalisi mendominasi proses legislasi dan mengurangi kemampuan oposisi untuk mengawasi kebijakan. Dengan demikian, masyarakat kehilangan akses politik yang seharusnya ada, yang menyebabkan konflik vertikal semakin membesar. Koalisi besar, seperti dikemukakan dalam buku tentang Sistem Politik Indonesia, dapat membungkam perbedaan dan mengancam kualitas demokrasi, menghilangkan ruang untuk pengawasan kritis dari masyarakat.

Minimnya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan menciptakan akar konflik vertikal, karena ketika partai oposisi terlalu kecil, rakyat kehilangan jalur formal untuk menyampaikan ketidakpuasan. Dalam kondisi di mana jalur formal tertutup, masyarakat berpotensi mencari jalur lain seperti demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi mereka. Ketika suara oposisi tidak terdengar, dan rakyat merasa tidak terwakili, potensi konflik vertikal semakin meningkat. Fenomena koalisi besar ini menimbulkan pembengkakan struktur pemerintahan dan alokasi dana yang tidak efisien, yang selanjutnya memperburuk konflik internal antara elite, serta menambah persepsi buruk publik terhadap pemerintah. Ketidakpuasan ini terwujud dalam protes dari berbagai elemen masyarakat atas kebijakan dan dominasi elite dalam jabatan publik. Publik mengkritik pembengkakan struktur kementerian, yang dianggap lebih untuk kepentingan politik daripada efisiensi pelayanan publik, menambah frustasi masyarakat. Tanpa pengelolaan yang transparan dan partisipatif, kondisi ini berpotensi memicu demonstrasi besar-besaran atau gelombang protes sosial. Teori konflik menunjukkan bahwa ketika saluran formal tertutup, masyarakat akan mencari jalur non-formal untuk menyalurkan aspirasi. Dalam konteks ini, semakin jelaslah bahwa ketimpangan relasi kekuasaan dan distribusi akses politik yang tidak merata memperbesar peluang terjadinya perlawanan sosial, baik melalui protes terbuka maupun tekanan politik dari luar sistem formal.

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun