Mohon tunggu...
Rozy BrilianSodik
Rozy BrilianSodik Mohon Tunggu... Lainnya - BEM UI 2020

Mahasiswa Fakultas Hukum UI

Selanjutnya

Tutup

Hukum

100 Hari Dipimpin Jenderal Polisi: KPK Lumpuh dan Kehilangan Taji

30 Maret 2020   14:20 Diperbarui: 31 Maret 2020   01:57 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua KPK terpilih periode 2019-2023, akarta, Senin, 16 September 2019. TEMPO/M Taufan Rengganis 

Pada tanggal 29 maret 2020, genap 100 hari sudah Jenderal Polisi Firli Bahuri memimpin institusi anti rasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Firli bersama keempat komisioner lain yaitu Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pamolango, dan Lili Pantauli Siregar resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat, 20 Desember 2019 di Istana Negara. Kelimanya dilantik melalui Keputusan Presiden Nomor 112/P/2019 dan Keputusan Presiden Nomor 129/P/2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK periode 2019-2023.

Dalam pelantikan tersebut, kelima pimpinan KPK terpilih yang telah lolos uji kepatutan dan kelayakan oleh Komisi III DPR menyatakan dengan lantang dan dibawah sumpah bahwa "Saya berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, objektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, gender, dan golongan tertentu."[1]

Dalam 100 hari, kita sudah dapat menilai sejauh mana kelima pimpinan menjalankan sumpah yang mereka ucapkan di depan Presiden Jokowi tersebut. Kelima pimpinan terpilih ini sampai pada saat mereka dilantik diiringi dengan berbagai polemik, dari mulai revisi UU KPK yang cacat formil dan seleksi capim KPK yang tidak transparan serta komposisi panitia seleksi yang diisi oleh orang-orang tidak independen.

Kinerja KPK sejauh ini memang sudah sesuai prediksi. Dengan UU pasca revisi, yaitu UU No. 19 Tahun 2019, KPK diramalkan tidak akan dapat berbuat banyak dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi terutama dalam konteks penindakan.

Terlebih lagi, sentimen negatif terhadap pimpinan KPK yang dikepalai oleh Firli Bahuri yang notabene berasal dari institusi kepolisian juga kemudian meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap KPK. Jika ditelisik secara filosofis sebenaranya kehadiran KPK dilatarbelakangi oleh ketidakberhasilan penegakan hukum (Polisi dan Jaksa) dalam memberantas maraknya praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), bahkan Polisi dan Jaksa diindikasikan menjadi bagian dari lingkaran KKN itu sendiri.[2] Akan tetapi saat ini KPK malah dipimpin oleh seorang yang berasal dari institusi kepolisian. Bahkan status Firli sampai detik ini masih sebagai perwira tinggi Polri aktif.[3] Tentu ini akan menimbulkan polemik baru, karena seharusnya Firli sudah melepaskan atau mundur dari institusi Kepolisian. Sebab akan lebih baik jika kelima pimpinan KPK bersifat independen dan tidak terafiliasi dari insitusi lainnya. Hal tersebut bertujuan agar tidak ada indikasi muatan conflict of interest di tubuh KPK. Aulia Guzasiah, Peneliti bidang hukum The Indonesian Institute sejak awal sudah berpendapat bahwa status Firli akan mengganggu independensi KPK dalam menangani perkara. Jadi langkah yang paling bijak untuk dilakukan Firli adalah keluar dari instansi sebelumnya. Status nonaktif tidak cukup untuk bisa kembali menjernihkan stigma negatif dan keragu-raguan masyarakat saat ini terhadap pimpinan KPK yang ada.[4]

Dalam 100 hari kepemimpinan Firli, keragu-raguan masyarakat pun sedikit terjawab. KPK cenderung lebih banyak membuat kontroversi dibandingkan membuat pencapaian-pencapaian penting dalam hal upaya-upaya pemberantasan korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) merilis setidak-tidaknya ada tujuh kontroversi yang dilakukan oleh KPK dalam kerja 100 hari kerja semenjak pimpinan KPK baru dilantik.[5] Kontroversi tersebut diantaranya adalah:

1. Gagalnya KPK menangkap buronan kasus korupsi Harun Masikhu dan Nurhadi setelah lebih dari dua bulan pengejaran; 

2. KPK dinilai tidak transparan dalam hal menangani perkara, contohnya tidak ada klarifikasi resmi yang dikeluarkan oleh institusi terkait penyekapan penyidik KPK di PTIK; 

3. KPK telah bertindak sewenang-wenang dengan memberhentikan Kompol Rossa tanpa melalui mekanisme yang jelas; 

4. KPK berupaya melakukan sidang in absentia atas kasus suap Harun Masikhu, padahal upaya pencarian belum dilakukan secara maksimal; 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun