Sering kali kita mendengar orang mengatakan tidak ada orang bodoh yang ada hanya orang pemalas. Kalimat ini menarik perhatian bahkan bisa menimbulkan perdebatan. Di sisi lain kalimat ini menyemangati seolah-olah menegaskan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang, asal tidak kata malas. Dan disisi lain kalimat ini bisa menyinggung, seakan menentang adanya perbedaan kemampuan berpikir. Lantas, benarkah kebodohan hanyalah hasil dari kemalasan? Ataukah pernyataan ini justru menyederhanakan kerumitan dalam proses belajar dan karakter manusia?
Pernyataan ini lahir dari semangat emosional yang kuat bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menjadi pintar, asalkan tidak menyerah pada rasa malas dan berjuang dengan sungguh-sungguh. Banyak tokoh besar dunia yang awalnya dipandang rendah atau bahkan dicap bodoh oleh lingkungan sekitarnya, namun kemudian membuktikan bahwa anggapan tersebut tidaklah benar. Salah satu contohnya adalah Thomas Alva Edison. Ia pernah dianggap bodoh dan bahkan dikeluarkan dari sekolah karena dianggap tidak mampu belajar dengan cara konvensional.
 Namun, justru dari keterbatasan itu lahir semangat pantang menyerah dan tekad kuat untuk terus belajar dan mencoba. Melalui ribuan percobaan dan kegagalan, Edison akhirnya berhasil menciptakan berbagai penemuan yang mengubah dunia, termasuk bola lampu listrik. Kisah hidupnya menjadi bukti nyata bahwa kebodohan bukanlah sifat bawaan yang permanen, melainkan kondisi sementara yang bisa berubah jika seseorang memiliki kemauan untuk belajar, bekerja keras, dan tidak mudah menyerah. Maka dari itu, penting bagi kita untuk tidak cepat melabeli seseorang bodoh, sebab sering kali yang dibutuhkan hanyalah dorongan, kesempatan, dan kemauan untuk berkembang.
Walaupun demikian, perlu kita ketahui bahwa setiap orang  kemampuan belajarnya itu berbeda. Ada orang yang penangkapannya dalam belajar cepat ada orang juga penangkapannya dalam belajar itu lamban. Beberapa orang menghadapi tantangan seperti disleksia, ADHD, atau kondisi sosial yang membatasi akses mereka terhadap pendidikan. Dalam konteks ini, menyebut mereka "malas" adalah bentuk ketidakadilan, karena faktor struktural dan psikologis turut berperan besar.
Selain itu, kemalasan itu sendiri sering kali bukan penyebab utama, melainkan gejala dari sesuatu yang lebih dalam: kurangnya motivasi, tekanan batin, katukatan gagal, atau kurangnya dukungan lingkungan. Maka, menyamakan kemalasan dengan kebodohan tanpa menyelidiki akar masalahnya justru bisa menambah beban psikologis bagi seseorang.
Di dunia pendidikan, guru yang bijik tidak serta merta menilai siswanya "bodoh", tetapi mencari tahu bagaimana cara terbaik membantu mereka memahami pelajaran. Begitu juga kehidupan, kita perlu membangun budaya yang mendorong usaha tanpa merendahkan, memberi motivasi tanpa menghakimi.
Kesimpulan
Ungkapan " orang bodoh itu tidak ada, yang ada hanya orang malas " bisa menjadi dorongan positif jika disampaikan dalam membangun. Namun, kita juga perlu berhati-hati agar tidak terjebak dalam penyederhanaan masalah. Kecerdasan dan kemauan adalah dua hal berbeda yang saling mempengaruhi, dan setiap orang layak mendapatkan kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan berhasil sesuai potensinya masing-masing.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI