Sejak Panglima TNI menginstruksikan prajuritnya untuk menonton tayangan live dialog beliau tentang kebangsaan di media TV beberapa waktu yang lalu, saya mengapresiasi kepedulian beliau terhadap situasi dan kondisi bangsa yang sedang memanas terkait hajatan Pilgub DKI. Melalui presentasi yang berisi dan bernas dari seorang Jenderal, masyarakat diajak menyadari pentingnya kebersamaan sekaligus mengingatkan berbagai ancaman yang mengusik persatuan dan kesatuan bangsa. Saat itulah istilah perang asimetri beliau ungkapkan sebagai bentuk metaformosis perang konvensional yang dilakukan kekuatan-kekuatan imperialis kapitalis dunia.
Setelah momen live tersebut, sang Jenderal semakin tampil tanpa ragu ke pelbagai momen dan segmen. Sosok Jenderal yang menyatu dengan rakyat dipandang sebagai hal yang lumrah mengingat adagium tentara lahir dari rakyat. Maka tidak bisa dihindari jika kemudian ada beberapa dukungan dan dorongan agar beliau diunggulkan sebagai calon Presiden. Dukungan tersebut bukan salah sang Jenderal karena jelas bukan tujuan beliau di balik penampilannya dengan frekuensi sedemikian kerap di ranah yang menjadi urusan sipil (non-militer).
Di bulan September ceria ini, mendadak sontak beliau menginstruksikan juga kepada segenap prajurit TNI untuk nobar filem lawas nan bersejarah bertajuk Pengkhianatan G30S PKI. "Mau apa?", kata beliau, "hanya Pemerintah yang berhak melarang (instruksi) saya", lanjutnya tegas. Inilah sebuah tantangan langsung kepada Pemerintah sekarang. Pemerintah melarang atau mengijinkan nobar filem sekelas itu tidak sama bobotnya dengan Panglima memberi instruksi.
"Sejarah", kata beliau, "harus diketahui dan jangan sekali-kali dilupakan oleh generasi prajurit sekarang".
Untungnya, tidak ada pilihan filem sejarah tentang pengkhianatan yang lain. Kelak jika ada beberapa filem sejenis yang distempel sejarah, tentu sang Jenderal butuh waktu untuk memilih mana yang wajib ditonton, mana yang cukup dibuang ke liang kuburan.
Saya ga ambil pusing, saudara mau apa?