Mohon tunggu...
Intan Rosmadewi
Intan Rosmadewi Mohon Tunggu... Guru SMP - Pengajar

Pengajar, Kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain ; sesungguhnya adalah kebaikan untuk diri kita sendiri QS. Isra' ( 17 ) : 7

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sungkeman, Nganteran, dan Nyekar Budaya yang Mulai Luntur

18 Mei 2020   23:56 Diperbarui: 19 Mei 2020   00:00 1813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa COVID - 19  memunculkan situasi berbagai gambaran yang   terkesan  gambling,    kemungkinan tentu saja bergantung situasi dan kondisi masing - masing keluarga.   Karena mudik menjadi jalan pertama bagi putra - putri yang soleh / solehah untuk bisa sungkeman kepada kedua orang tua,   jika jauh nun di sana dan larangan masih ketat tentu tahun ini tidak bisa sungkeman secara khidmat seperti tahun - tahun yang lalu.

Nganteran Dan Ngabeduk  

Nganteran adalah cara urang Sunda berbuat baik,  dengan berkirim hasil olahan dapur rumah masing - masing.

Happeningnya budaya nganteran di desa kami berlangsung  sekitaran tahun 1970 - an,  biasanya tujuh hari menjelang Lebaran sekampung saling mengantar rantang,  berkirim olahan dengan beberapa budaya yang melatih perasaan saling toleransi dan berbagi.

Mengantarkan hasil olahan dari dapur masing - masing  yang budayanya adalah satu rangkai rantang penuh, isinya adalah :  

nasi satu rantang,  ikan mas goreng,   gepuk atau sejenis masakan mirip empal daging sapi,   aneka jenis  tumis,   bihun goreng,  oseng kentang, ase cabe hijau, kerupuk udang, tahu goreng,   tempe goreng (yakin penulis hafal urutan lauk pauk untuk nganteran karena juga budaya ini telah berlangsung sejak masih cilik - cilik,  rambut kuciran, pakai rok mini tanpa pakai sendal ).   Indah sekali . . . akan tetapi itu tiga puluh tahun yang lalu.

Saat ini berbagi cinta,  bisa kasih lips stik, bedak atau apapun imajinasi kita.  

Bisa saja hasil bumi  bagi para petani yang berniat membagi para tetangganya,  bahkan kepada penulis ada yang berkirim uli,  ketan hitam dan ayam mentah.  Tidak terikat dengan budaya nganteran . . . namun tetap itu ada ya saling berkirim .  

Ngabeduk,  di desa kami sudah tidak ada itu beduk,   selain beli beduk itu relatif cukup mahal dan trennya sudah punah,  jadi cara memanggil jamaah cukup dengan mic saja, bye bye bedug.

Jika mengingat tahun '70 - an  di desa kami beduk masih eksis,  sehingga bermanfaat sebagai alat pemanggil waktu shalat lima waktu.  

Jika bulan Ramadan tiba beduk lebih sering dipukul dan suasana kampung / desa meriah walaupun lumayan juga hingar bingarnya . . . bagi mereka yang kurang berkenan.  Akan tetapi rasanya indah mengenang suara bedug masa lalu yang kini telah tiada kecuali kita kepingin pasang ring tone beduk,  sungguh mahal kenangan masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun