Mohon tunggu...
Surobledhek
Surobledhek Mohon Tunggu... Guru - Cukup ini saja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi tak harap kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siswa Dijejali Kotoran, Manifestasi Kesalahan Otorisasi

25 Februari 2020   18:59 Diperbarui: 25 Februari 2020   18:55 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilistrasi: Pixabay.com

Keputusasaan, ketidakberdayaan atas sebuah kondisi yang dihadapi memaksa seseorang potong kompas, jalan pintas. Tekanan yang berat kadang mengakibatkan siapa pun hilang kendali.

Apalagi dalam sebuah komunitas yang terdiri dari banyak orang. Keinginan untuk membuat ketertiban. Ketaatan atas peraturan tata tertib yang ada. Serta sanksi dari tata tertib yang tak membuat jera. Memaksa melakukan tindakan yang dianggap arogansi.

Efeknya adalah seperti dilansir dari Kompas.com (25/02) ke-77 siswa ini disiksa memakan feses lantaran salah satu pendamping menemukan kotoran manusia dalam kantong di sebuah lemari kosong asrama. Yang kita lihat adalah akibat dari sejumlah ketidakpuasan pengelola atas tertibnya sebuah aturan dilaksanakan.

Berdasar peribahasa, tak mungkin ada asap kalau tak ada api. Kejadian di atas dan sejumlah kejadian yang mencoreng lembaga pendidikan kita selama ini adalah buntut dari ketidakpuasan pengelola sekolah terhadap efektivitas tata tertib yang ada.

Bayangkan saja, ketika ketertiban yang diharapkan terwujud dengan adanya tata tertib di sekolah dilanggar semena-mena oleh peserta didik. Tindakan apa yang akan dilakukan sekolah guna mengatasi hal tersebut? Pertanyaan sederhana dengan banyak alternatif jawaban.

Sementara jawaban alternatif kadang tak satupun mampu mengubah perilaku peserta didik untuk mentaati tata tertib yang ada. Sepintas pemberian sanksi atas pelanggaran tata tertib tidak manusiawi. Tindakan itu dilakukan karena tingkat kesabaran dari penyelenggara sekolah melampaui batas toleransi. Dalam hal ini guru, pembimbing, pengawas harian, dan sebagainya.

Ambil contoh sederhana, ketika tata tertib mengharuskan peserta didik berada dalam lingkungan sekolah ketika jam sekolah. Nyatanya pagar tinggi bukan halangan bagi mereka untuk keluyuran ke luar sekolah pada jam sekolah.

Sementara tindakan pemanggilan peserta didik telah dilakukan. Pemanggilan orang tua telah dilakukan. Dengan asumsi, apa salahnya sih hanya ke luar lingkungan sekolah untuk belanja jajanan yang digemari di luar sekolah? Atau apa salahnya kalau hanya ingin menikmati orang lalu lalang di luar sekolah.

Banyak alasan lain, yang intinya disadari atau tidak oleh kedua belah pihak sebagai bentuk perlawanan terhadap tata tertib yang ada. Padahal ketika pertama kali mendaftar di sekolah, orang tua dan peserta didik sendiri telah menandatangani kontrak.

Sebut saja begitu, pernyataan di atas materai yang menyatakan bahwa selama berada di sekolah akan mentaati tata tertib sekolah. Hampir semua sekolah memberlakukan ini. Namun yang terjadi pelanggaran demi pelanggaran tata tertib tetap dilakukan. Dan sanksi demi sanksi sesuai yang tertera pada tata tertib telah diberlakukan, tak juga mengurangi pelanggaran peserta didik terhadap tata tertib.

Sekarang, ketika dalam komunitas sekolah tak ada tata tertib yang diberlakukan. Tak ada aturan tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Dalam hal ini, orang tua peserta didik dan peserta didiknya beserta pihak sekolah. Kira-kira bagaimana ketertiban yang ada di sekolah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun