Mohon tunggu...
rona setiyana amianu
rona setiyana amianu Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa dari universitas palangkaraya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Inflasi dan Daya Beli: Cermin Rapuhnya Ekonomi Kita

8 Oktober 2025   00:07 Diperbarui: 8 Oktober 2025   00:07 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

 Inflasi dan Daya Beli: Cermin Rapuhnya Ekonomi Kita

Ketika harga kebutuhan pokok terus naik sementara pendapatan masyarakat tidak berubah di situlah kita bisa melihat rapuhnya fondasi ekonomi nasional. Inflasi bukan sekadar kenaikan harga tetapi sinyal bahwa daya beli masyarakat mulai melemah dan kesejahteraan ikut tertekan. Fenomena ini sering disebut sebagai "penyakit kronis" ekonomi modern, karena sulit dikendalikan dan bisa menimbulkan efek berantai terhadap berbagai sektor.
Di Indonesia, inflasi kerap muncul dari dua sumber utama: pangan dan energi. Ketika harga minyak dunia naik atau stok beras berkurang, dampaknya langsung terasa di pasar domestik. Kondisi ini menunjukkan betapa struktur ekonomi kita masih bergantung pada sektor-sektor yang rentan terhadap gejolak global. Akibatnya, ketika pasokan terganggu, harga dalam negeri pun ikut melonjak dan sulit dikendalikan. Dalam situasi seperti ini, inflasi bukan hanya masalah ekonomi teknis, tapi juga masalah sosial yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat banyak.
Daya beli menjadi korban pertama dari naiknya inflasi. Ketika harga naik sementara penghasilan tetap, kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan dasar menurun. Rumah tangga menekan pengeluaran, konsumsi berkurang, dan roda ekonomi ikut melambat. Padahal konsumsi rumah tangga adalah penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Jika daya beli terus melemah, maka pertumbuhan pun ikut tersendat. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tekanan ini bahkan terasa lebih berat karena sebagian besar pendapatannya hanya cukup untuk kebutuhan pokok.
Inflasi yang tinggi juga memperlebar kesenjangan sosial. Kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi masih bisa menyesuaikan diri, sementara kelompok bawah semakin terdesak. Harga bahan pokok yang naik bisa membuat sebagian orang harus mengurangi gizi, menunda pendidikan, atau bahkan berutang untuk bertahan. Di titik inilah inflasi bukan lagi sekadar urusan angka, tapi juga potret ketimpangan sosial yang makin menganga.
Untuk mengendalikan inflasi, peran bank sentral sangat penting. Melalui kebijakan moneter, seperti penetapan suku bunga acuan atau operasi pasar terbuka, bank sentral berupaya mengatur jumlah uang beredar. Saat inflasi tinggi, suku bunga biasanya dinaikkan agar masyarakat menahan konsumsi dan investasi berlebihan. Namun kebijakan ini juga punya risiko, karena pertumbuhan ekonomi bisa ikut melambat. Itulah dilema klasik: menjaga harga tetap stabil tanpa mematikan semangat ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah memiliki peran besar melalui kebijakan fiskal. Subsidi pangan dan energi, bantuan sosial, serta penguatan produksi dalam negeri dapat menjadi tameng bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu, memperbaiki rantai distribusi juga penting agar harga di pasar tidak melonjak hanya karena biaya logistik. Ketika pasokan lancar dan biaya produksi terkendali, tekanan inflasi bisa mereda tanpa harus menekan pertumbuhan ekonomi.
Masalahnya, inflasi sering kali menjadi cermin dari lemahnya ketahanan ekonomi nasional. Jika harga pangan dan energi naik sedikit saja sudah mengguncang stabilitas harga berarti kita belum memiliki struktur produksi yang tangguh. Ketergantungan pada impor bahan baku dan pangan membuat ekonomi mudah terguncang oleh faktor luar negeri. Dalam jangka panjang, ini menandakan perlunya reformasi struktural --- meningkatkan produktivitas, memperkuat sektor riil, dan memperluas basis industri dalam negeri.
Pada akhirnya, ekonomi yang sehat bukan hanya yang mampu menekan inflasi ke angka rendah, tetapi juga yang mampu menjaga daya beli rakyat dan memastikan pertumbuhan dirasakan secara adil. Stabilitas harga seharusnya bukan sekadar pencapaian statistik, melainkan fondasi menuju masyarakat yang lebih sejahtera. Ketika harga stabil, daya beli terjaga, dan kesejahteraan meningkat, barulah kita bisa mengatakan bahwa ekonomi Indonesia benar-benar kuat --- bukan sekadar tumbuh di atas kertas, tetapi juga tumbuh untuk rakyatnya.

Sebagai mahasiswa saya meihat kenaikan inflasi ini sangat berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang dimana ketika inflasi naik terlalu tinggi maka akan menyebabkan kelumpuhan ekonomi,salahh satu contohnya adalah kehilangan pekerjaan. karena inflasi terus naik seseorang akan menunda pembelian suatu barang dan menunggu beberapa tahun kedepan dengan harapan harga barang tersebut akan menurun. nyatanya perilaku seperti itu akan memubuat tidak ada pembeli dan usaha tersebut terancam tutup.nahh itulah yang menyebabkan inflasi berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi jika tidak ada inflasi,ekonomi juga tidak akan berjalan dan stuck disitu-situ aja tanpa adanya perkemangan pertumbuhan ekonomi  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun