Mohon tunggu...
Ronald Anthony
Ronald Anthony Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Lepas

Hanya seorang pembelajar yang masih terus belajar. Masih aktif berbagi cerita dan inspirasi kepada sahabat dan para mahasiswa. Serta saat ini masih aktif berceloteh ria di podcast Talk With Ronald Anthony on spotify.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Saturday Morning #42 - "Etape Pertama"

20 Maret 2021   09:00 Diperbarui: 20 Maret 2021   09:06 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di masa yang semakin maju sekarang ini, rasa-rasanya untuk ngomongin soal milenial itu seperti sesuatu yang penting banget. Kalau pergi ke sebuah acara webinar tentang bisnis, pasti terselip salah satu tema bahasan-nya yaitu bagaimana menarget segmen milenial. Lain bisnis, lain lagi politik. Kalau bicara politik, sudah pasti tema yang dibicarakan para politikus adalah bagaimana merebut suara milenial. Dan para politikus berlomba-lomba menjadi milenial mulai pakai sneakers sampai menggunakan jaket-jaket denim trend anak muda sekarang.

Milenial oh Milenial, milenial adalah pasar. Milenial adalah target empuk bagi setiap rata-rata komoditi di Indonesia dan Dunia.

Bagi mereka yang lahir dari antara awal 1980-an hingga awal 2000-an ini adalah sebuah obyek yang menarik untuk dieksplorasi/eksploitasi. Tentu kalau berbicara tentang milenial seakan tak ada habisnya. Ada saja seluk beluk nya yang terus muncul. Saya sendiri termasuk dari milenial itu. Kalau digambarkan dari pengalaman-pengalaman pribadi mengelola kegiatan anak-anak muda, kunci suksesnya adalah ide kreatif dan eksekusinya haruslah dilakukan oleh anak muda yang tidak kolot dan ketinggalan jaman tentunya.

Bukti tidak kolotnya itu masih terasa sampai sekarang, bersama beberapa sahabat saya semasa OSIS SMA kami pernah memulai etape pertama yang cukup mendobrak pada masa itu dengan membuat berbagai kegiatan dan organisasi anak muda, yang bahkan sampai sekarang masih berlanjut dan kian bergengsi. Mulai  dari urusan membereskan organisasi "Komite Pemilihan Osis", Organisasi supporter "Petrus Mania", Pentas Seni paling bergengsi "EKSIS" dengan sahabat saya Riki Kusnadi sebagai ketua nya yang pertama kali. 

Saya pikir masa itu, rasanya masa semangat-semangatnya, karena usia sewaktu saya dulu membuat kegiatan-kegiatan relatif masih muda. Selain itu, karena  “target market” yang dituju juga tidak jauh, baik dari segi usia maupun pengalaman. Namun makin kesini makin saya menyadari, belajar dari pengalaman, saya juga pelan-pelan harus mempercayakan kepada yang muda-muda untuk meneruskannya. Dan violaa hasilnya cukup baik. Jadi, rasa saya keputusan itu sudah tepat karena semakin saya sadar bahwa perbedaan jarak usia yang terlampau jauh kadang membuat tidak nyambung dengan kondisi anak muda sekarang.

Lain etape pertama itu, lain lagi etape pertama yang lain.

Etape pertama ini muncul bersamaan dengan terselipnya sebuah kabar yang cukup menggembirakan bagi saya, yang kalau kata anak-anak muda sekarang one step closer bahasa kerennya. Beberapa hari yang lalu secara resmi surat keputusan Anggota Luar Biasa saya secara resmi dikeluarkan oleh PP Ikatan Notaris Indonesia. Hal ini tentu berarti bahwa secara resmi saya memulai etape pertama dari sekian etape yang harus dijalankan. Serta harus beralih perhatiannya demi berlari untuk meraih cita-cita yang belum teraih. 

Tetapi diantara sekian banyak kisah etape pertama hari itu, ada yang membuat saya sedih tak karuan karena ada beberapa teman saya yang karena terlambat beberapa saat sehingga akhirnya tidak bisa bersama-sama dengan kami untuk turut menikmati etape pertama ini. Meskipun berusaha membesarkan hati namun rasa-rasanya itu tidak mempan. Karena tak jarang, niat baik itu mungkin dianggap sebagai menggurui, dan terkesan mengolok-ngolok. Hmmmm.

Diantara sekian banyak pembicaraan hari itu, saya tertarik dengan pendapat dari salah satu teman saya yang kurang lebih bunyinya adalah "tenang saja, setiap orang ada waktunya". Kalimat ini tentu membuat saya berpikir sepanjang jalan pulang bahkan hingga tulisan ini saya tulis, saya masih ragu apakah tepat kata-kata tersebut kita gunakan. Karena terkadang saya melihat bahwa penggunaan kata "semua orang ada waktunya" seringkali hanya untuk menjadi kata halus bahwa waktulah yang salah bukan individunya yang salah dan menutupnya dengan kata :timing setiap orang akan muncul pada saat yang tepat". Meskipun demikian, makin kebelakang saya pikir-pikir makna kata itu sesungguhnya bias dan semakin menunjukkan bahwa  "Itu hanya pembenaran saja atas ketidak mampuan yang ia lakukan".

Saya ingat sekali, teman saya ini pada masa orang sedang fight-fight nya berjuang, dia begitu santai dan terkesan tidak peduli, malah lebih banyak mengerjakan hal-hal yang lain yang tidak ada hubungannya dengan yang sedang kami giatkan. Malah, justru ketika orang sudah selesai, dan sudah persiapan memulai etape berikutnya barulah ia panik berusaha mengejar ketertinggalannya. 

Dan ketika orang lain sudah finish dan ia terlambat, maka dengan mudahnya meminta menunggu untuk memulai etape berikutnya sama-sama, yang biasanya disertai dengan kata-kata soal "waktu". Mungkin awalnya sekali dua kali biasa-biasa saja masih bisa diterima, tapi kok ya ndalah jadi keterusan, sehingga seakan-akan tiap kali tertinggal di etape sebelumnya jurus pamungkas "setiap orang punya timing" selalu muncul. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun