Mata Telanjang Negara di Balik Tanah "Telantar": Badai untuk Petani Kecil & Tanah Adat
Oleh: Ronald Sumual Pasir
Bayangkan Anda adalah petani kecil. Tinggal di kampung yang sejak dulu diwariskan secara turun-temurun. Anda punya sebidang tanah --- 1.000 meter persegi --- cukup untuk menanam jagung, pisang, atau beternak ayam kampung. Hidup tak bergelimang, tapi cukup. Namun suatu pagi, Anda menerima surat peringatan dari kantor pertanahan. Tanah Anda dianggap "telantar". Dalam waktu 2 tahun, bila tidak dimanfaatkan sesuai ketentuan, bisa diambil negara. Tanpa ganti rugi.
Ya, ini bukan fiksi. Ini kenyataan yang sedang menghantui ribuan bahkan jutaan warga di Indonesia, seiring dengan aktifnya implementasi Bank Tanah, yang didasari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Tanah Terlantar, dan PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Alasan utamanya terdengar mulia: memanfaatkan tanah yang tidak produktif agar digunakan demi kepentingan umum, investasi, atau pemerataan pembangunan. Tapi benarkah tujuannya seindah itu?
Negara "Mata Elang": Siapa yang Diawasi?
Bank Tanah dibentuk dengan tujuan sebagai "pengelola tanah untuk kepentingan umum dan distribusi yang adil." Konsep ini pada dasarnya memungkinkan negara mengambil alih tanah-tanah yang dianggap "telantar" --- yakni tanah yang sudah bersertifikat hak (Hak Guna Usaha, Hak Milik, HGB, dll) namun tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan dalam jangka waktu tertentu (umumnya dua tahun berturut-turut).
Masalahnya, definisi "telantar" sangat lentur dan bisa ditafsirkan secara sepihak. Apakah tanah yang dibiarkan karena alasan siklus tanam bisa dianggap telantar? Apakah tanah warisan keluarga yang belum dibagi ahli waris masuk kategori ini? Atau tanah ulayat adat yang tak didaftarkan ke sistem formal negara juga akan dianggap tak bertuan?
Inilah masalah utamanya: pengawasan dan implementasi tidak adil. Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki ribuan hektar lahan tidur tak tersentuh. Mereka punya tim hukum, akses ke pengadilan, dan alasan legal yang kuat. Bahkan banyak dari mereka yang masih menguasai tanah meski izin HGU-nya telah habis bertahun-tahun.
Sementara itu, rakyat kecil --- petani, nelayan, masyarakat adat --- yang seringkali tidak punya akses ke informasi hukum, birokrasi agraria yang rumit, dan minim pendampingan hukum, justru menjadi pihak paling rentan.
Korban Sunyi: Rakyat Kecil Dipaksa Menjual
Lantas apa yang terjadi di lapangan? Ketakutan diambil alih negara, banyak pemilik tanah kecil akhirnya menjual tanahnya secara terpaksa. Bahkan ketika mereka tidak punya kebutuhan ekonomi mendesak.