Mohon tunggu...
Ronald SumualPasir
Ronald SumualPasir Mohon Tunggu... Penulis dan Peniti Jalan Kehidupan. Menulis tidak untuk mencari popularitas dan financial gain tapi menulis untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran karena diam adalah pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Tall and brown skin. Love fishing, travelling and adventures.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mata Telanjang Negara di Balik Tanah Terlantar: Badai untuk Petani Kecil dan Tanah Adat.

20 Juli 2025   16:06 Diperbarui: 20 Juli 2025   15:07 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mata Telanjang Negara di Balik Tanah "Telantar": Badai untuk Petani Kecil & Tanah Adat

Oleh: Ronald Sumual Pasir

Bayangkan Anda adalah petani kecil. Tinggal di kampung yang sejak dulu diwariskan secara turun-temurun. Anda punya sebidang tanah --- 1.000 meter persegi --- cukup untuk menanam jagung, pisang, atau beternak ayam kampung. Hidup tak bergelimang, tapi cukup. Namun suatu pagi, Anda menerima surat peringatan dari kantor pertanahan. Tanah Anda dianggap "telantar". Dalam waktu 2 tahun, bila tidak dimanfaatkan sesuai ketentuan, bisa diambil negara. Tanpa ganti rugi.

Ya, ini bukan fiksi. Ini kenyataan yang sedang menghantui ribuan bahkan jutaan warga di Indonesia, seiring dengan aktifnya implementasi Bank Tanah, yang didasari Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Tanah Terlantar, dan PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Alasan utamanya terdengar mulia: memanfaatkan tanah yang tidak produktif agar digunakan demi kepentingan umum, investasi, atau pemerataan pembangunan. Tapi benarkah tujuannya seindah itu?

Negara "Mata Elang": Siapa yang Diawasi?

Bank Tanah dibentuk dengan tujuan sebagai "pengelola tanah untuk kepentingan umum dan distribusi yang adil." Konsep ini pada dasarnya memungkinkan negara mengambil alih tanah-tanah yang dianggap "telantar" --- yakni tanah yang sudah bersertifikat hak (Hak Guna Usaha, Hak Milik, HGB, dll) namun tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan dalam jangka waktu tertentu (umumnya dua tahun berturut-turut).

Masalahnya, definisi "telantar" sangat lentur dan bisa ditafsirkan secara sepihak. Apakah tanah yang dibiarkan karena alasan siklus tanam bisa dianggap telantar? Apakah tanah warisan keluarga yang belum dibagi ahli waris masuk kategori ini? Atau tanah ulayat adat yang tak didaftarkan ke sistem formal negara juga akan dianggap tak bertuan?

Inilah masalah utamanya: pengawasan dan implementasi tidak adil. Perusahaan-perusahaan besar yang memiliki ribuan hektar lahan tidur tak tersentuh. Mereka punya tim hukum, akses ke pengadilan, dan alasan legal yang kuat. Bahkan banyak dari mereka yang masih menguasai tanah meski izin HGU-nya telah habis bertahun-tahun.

Sementara itu, rakyat kecil --- petani, nelayan, masyarakat adat --- yang seringkali tidak punya akses ke informasi hukum, birokrasi agraria yang rumit, dan minim pendampingan hukum, justru menjadi pihak paling rentan.

Korban Sunyi: Rakyat Kecil Dipaksa Menjual

Lantas apa yang terjadi di lapangan? Ketakutan diambil alih negara, banyak pemilik tanah kecil akhirnya menjual tanahnya secara terpaksa. Bahkan ketika mereka tidak punya kebutuhan ekonomi mendesak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun