Industri mulai dibangun, terutama di sektor substitusi impor: tekstil, semen, baja ringan, pupuk, dan bahan kimia dasar. BUMN tumbuh, proyek-proyek swasta mulai bermunculan, dan perbankan memberikan dukungan kredit investasi dan modal kerja.
Namun, cacat besar tersembunyi di balik euforia pembangunan itu.
Bohongisasi Dimulai: Mark-Up dan Feasibility Study Palsu
Para pengusaha memulai proyek dengan niat tidak sepenuhnya bersih. Proyek dimark-up habis-habisan, bukan karena kebutuhan teknis, tapi agar seluruh pembiayaan ditanggung oleh bank. Modal sendiri hanya formalitas: sering kali "setoran modal" berasal dari dana proyek itu sendiri yang sudah dibengkakkan.
Contoh gamblangnya terlihat di industri tekstil. Dalam salah satu proyek besar, feasibility study menyebutkan bahwa kebutuhan kain per kapita orang Indonesia adalah 100 meter per tahun. Dengan asumsi populasi 210 juta jiwa (tahun 1990-an), maka kebutuhan nasional dipatok 21 miliar meter kain. Padahal, produksi domestik hanya 1 miliar meter. Artinya ada "gap" sebesar 20 miliar meter yang diklaim sebagai pasar potensial.
Ini jelas manipulatif. Karena:
*Tidak semua orang butuh 100 meter kain per tahun.
*Kebutuhan berbeda antara kelas bawah, menengah, dan atas.
*Tidak ada segmentasi pasar yang jelas dalam studi tersebut.
Tapi tetap saja, bank mengucurkan dana ratusan miliar rupiah untuk mendanai proyek ini, karena feasibility study disusun oleh konsultan "terpercaya"---yang sebenarnya sudah berkolusi dengan pemilik proyek dan pejabat kredit bank.
Ketika Produksi Dimulai, Pemasaran Tak Bergerak
Ketika pabrik mulai beroperasi, realitas pun menyentak: produk tak laku. Mengapa?
Karena produksi tidak mempertimbangkan:
*Selera pasar yang beragam.
*Spesifikasi kualitas yang diinginkan tiap segmen.
*Distribusi yang memadai.
Barang diproduksi dalam kuantitas besar, tapi tidak sesuai kebutuhan nyata. Akibatnya? Gudang penuh, piutang menumpuk, dan proyek merugi.