Seorang tetangga menderita gagal ginjal dan harus melakukan terapi cuci darah beberapa kali dalam satu bulan. Untung Mbak Yatmi terdaftar sebagai peserta BPJS jauh hari sebelumnya. Dengan kartu BPJS Kesehatan Mbak Yatmi bisa cuci darah gratis sesuai dengan kebutuhan.
Beberapa kisah nyata di atas membuktikkan bahwa BPJS Kesehatan telah berbagi solusi biaya kesehatan kepada masyarakat. Pada masa lalu pemerintah menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi-bagi sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali. Layanan seperti ini pada masa lalu banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Seperti sebuah kutukan bahwa tidak mungkin mendapat layanan yang baik melalui layanan jaminan kesehatan nasional.
Pada masa lalu buruknya layanan kesehatan untuk peserta jaminan kesehatan sudah menjadi rahasia umum. Pasien Askes, Jamkesmas, dan Jamkesda sering menjadi korban diskriminasi ketika berobat di rumah sakit. Layanan yang kurang ramah merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang sering mereka terima. Bahasa tubuh para pelayan kesehatan yang kurang menunjukkan rasa hormat sangat menyakitkan hati pasien. Kini di era BPJS semua kutukan ini bisa diakhiri.
Rahasia BPJS Kesehatan bisa menghapus kutukan atas layanan jaminan kesehatan ini adalah pertama, prinsip gotong royong. Prinsip gotong-royong adalah adalah prinsip kebersamaan antar Peserta dalam menanggung beban biaya Jaminan Sosial, yang diwujudkan dengan kewajiban setiap Peserta membayar Iuran sesuai dengan tingkat Gaji, Upah, atau penghasilannya.
Menurut PB NU, BPJS itu tergolong dalam konsep Syirkah Ta’awwun yang sifatnya gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi. Peserta yang sehat bergotong-royong memikul biaya pengobatan peserta yang sakit. Untuk kasus penyakit langka yang memerlukan biaya besar seperti GBS (Guillian-Barre Syndrome) seperti yang terjadi pada Azka dan Shafa Tahun 2011 akan lebih ringan di atasi dengan prinsip gotong royong ini.
Kedua, penghitungan tarif menggunakan sistem Casemix INA CBGs. Menurut Anjari Umarjianto (2014), dalam pembayaran menggunakan sistem INA CBGs, baik Rumah Sakit maupun pihak pembayar tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosis keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group). Besarnya penggantian biaya untuk diagnosis tersebut telah disepakati bersama antara provider atau ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya.
Bagi pasien, adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan derajat keparahan, dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay) pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan, dan mengurangi pemeriksaan serta penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien.
Manfaat bagi Rumah Sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja sebenarnya, dapat meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan Rumah Sakit, dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan. Juga meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat memonitor QA dengan cara yang lebih objektif.