Mohon tunggu...
Romi Romadhoni
Romi Romadhoni Mohon Tunggu... -

@romi_mr Development Planner. Master of Development Planning (Univ of Queensland). Urban issue enthusiast. Economic equity is the new growth

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kota sebagai Panggung: Oligarki vs Aset Sosial Masyarakat

9 Oktober 2016   10:43 Diperbarui: 10 Oktober 2016   09:51 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masalah terbesar yang dihadapi kota Jakarta saat ini: pembangunan berjalan pincang dan masih jadi tanda tanya besar bagaimana masa depan kota ini. Pilar utama yang menyangga dinamika  kota yang  berjangka panjang : Jejaring mosaik sosial, rasa persaudaraan, kearifan lokal,   pendekatan yang ngewongke dan partisipasi warga. Kesemuanya itu sekarang menghilang. Tandas.

Kondisi ini bersisian  dengan konteks ekonomi-politik  global yang makin teregradasi,  dimana  terbukti “undercount real cost” , seperti porak porandanya lingkungan, ambrolnya kohesi sosial, dan pudarnya rasa saling percaya di tengah masyarakat.

Masalah yang tak kalah besar adalah tak terbendungnya jeratan oligarki :  negeri atau kota  yang dikendalikan penuh oleh kelompok kecil orang kaya-kuasa.  Tak ada  ideologi dalam pembangunan kota, yang ada hanyalah  pelanggengan praktek kartel dan monopoli yang menelan aset sosial masyarakat.

Negeri yang sama – sama kita cintai ini berada di urutan ke 7, dalam daftar Indeks Kapitalisme Kroni tahun 2016 versi  ‘The Economist’, posisinya sebelah sebelahan dengan Meksiko dan Ukraina. Daftar ini menjelaskan seberapa lonjakan kekayaan para miliarder yang mempunyai hubungan rente dengan penguasa. Mengutip CNN Indonesia, indeks ini “menunjukkan apakah dunia sedang mengalami era baru "baron-baron perampok", seperti yang terjadi di zaman emas pada abad 19 di Amerika Serikat.”

Kembali ke konteks kota. Benar adanya.  Masyarakat menginginkan bis – bis umum yang apik berstandar eropa, kali- kali  yang lebih bersih dan capaian fisik lainnya . Namun kalau itu dilakukan dengan biaya makin kuatnya oligarki. Tambah beratnya ongkos dari tergadainya modal  sosial mereka. Tentu masyarakat akan berpikir ulang ratusan kali.  

Bahwa sejatinya kota adalah panggung dengan tirainya yang tak pernah tertutup. Dan aktor dan kejadian sosial hanya dianggap figuran . Sebagai residu.  

Meminjam argumennya Umair Haque, yang tidak kita inginkan sangat jelas: Kita tak ingin taman  sosial yang hidup dinamis , yang bermacam warna , berubah meranggas jadi hutan. Dan yang paling buas- predator bertaring tajam -  menjadi satu satunya pemenang. Sementara yang lain,  yang miskin dan nir-daya , hanya bisa sembunyi di balik bayangan, sambil terus berharap alam kota jadi  tambah gelap. Kala itu kita sama- sama menatap bintang dilangit, dan sekarang kita saling menatap terbakar dendam.

Yang sekarang terjadi, modal  sosial masyarakat dianggap tak sejalan dengan tujuan kapitalisme yang berangasan  maka sudah semestinya dipinggirkan. Antar elemen masyarakat makin jauh terbelah, jejaring niat baik sosial disingkirkan. Harmoni sosial seperti di ujung tanduk, nyaris berantakan.  Yang pecahannya siap ditelan oleh mesin ganas: konglomerat. Keberadaan masyarakat sipil terancam instabilitas sosial yang tak jelas juntrungannya, mekanisme resolusi konflik  yang tak pernah terpikirkan turut perparah situasi.

Tujuan  law and order pun semakin menjauh.  Merajalelanya oligarki  juga memaksa kita kembali ke sistem kasta yang eksklusif dan kaku.  Di sisi mikro tata ruang misalnya , keberadaan masyarakat berpagar (gated community) seperti yang menjamur di kluster – kluster real estate semakin perburuk situasi.        

Jadi bagaimana menyelesaikan persoalan besar ini?  Mestikah kita berpangku  tangan dan nyatakan menyerah?  Tak akan.

Definisi dari kegilaan sejati adalah terus melakukan hal yang sama berulang kali, dan berharap hasil berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun